Arsip Harian: 16 Agustus 2017

Problem Penegakan HAM di Indonesia

Problem Penegakan HAM di Indonesia

Silahkan download materi di bawah ini:

PROBLEM PENEGAKAN HAM DI INDONESIA oleh ABDUL GHOFUR

IMG-20170219-WA0020

Perkuliahan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) bersama Bp. Dr. H. A. Dardiri Hasyim, S.H., M.H. – UNU Surakarta

IMG-20170219-WA0005

IMG-20170219-WA0024

Koreksi Penulisan Buku “Hak Azasi Manusia dan Pendidikan HAM”

A. Identitas Buku
Judul buku : Hak Azasi Manusia dan Pendidikan HAM
ISBN : 978-979-498-728-5
Penulis : Dr.H.A. Dardiri Hasyim, S.H., M.H. dan Yudi Hartono, M.Pd.
Editor : Dr. Hj. Darsinah Fajarwati, M.Si.
Cetakan : Cetakan pertama, Edisi I, Oktober 2012
Penerbit : UNS Press Surakarta
Tebal buku : ix + 204 halaman; 24,5 cm

B. Koreksi Buku
No. Halaman Paragraf/Baris Tertulis Seharusnya
1 Sampul – Hak Azasi Manusia Hak Asasi Manusia
2 Hal. v III/4 intentitasnya intensitasnya
3 Hal. 3 IV/6 kearah ke arah
4 Hal. 4 III/9 Prancis Perancis
5 Hal. 15 III/6-7 penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. penemuan-penemuan ilmiah, dan lain sebagainya.
6 Hal. 17 III/10 berkewar ganegaraan Irak berkewarganegaraan Irak
7 Hal. 17 III/13 keawarganegaraan kewarganegaraan
8 Hal. 19 II/6 teoritorial teritorial
9 Hal. 19 II/7 Disamping Di samping
10 Hal. 19 III/10 dimana di mana
11 Hal. 20 III/4 disamping di samping
12 Hal. 20 IV/2 horisontal horizontal
13 Hal. 21 II/2 horisontal horizontal
14 Hal. 26 II/7 intemasional internasional
15 Hal. 35 IV/4 di lihat dilihat
16 Hal. 48 II/3 mahluk makhluk
17 Hal. 49 III/7 wakil wakilnya wakil-wakilnya
18 Hal. 50 II/5 komunias komunitas
19 Hal. 50 III/6 intemasional internasional
20 Hal. 62 II/12 memikirkan , merundingkan memikirkan, merundingkan
21 Hal. 63 I/5 menagani menangani
22 Hal. 63 III/6 perserikatan Bangsa-Bangsa Perserikatan Bangsa-Bangsa
23 Hal. 65 I/3 mencatumkan mencantumkan
24 Hal. 65 I/4 liberlisme liberalisme
25 Hal. 68 II/6 horisontal horizontal
26 Hal. 69 II/6 persamaan dihadapan dukum persamaan di hadapan hukum
27 Hal. 70 IV/3 justeru justru
28 Hal. 70 IV/5 melalukan melakukan
29 Hal. 74 I/9 ekspressi ekspresi
30 Hal. 75 I/6 terpuruk den krisis terpuruk dan krisis
31 Hal. 75 I/11 The Basic Need Hierarchy Theory The Basic Need Hierarchy Theory
32 Hal. 75 III/5 berprilaku berperilaku
33 Hal. 76 II/2 Frans Magnis Suseno Frans Magnis Suseno
34 Hal. 76 II/4, 6, 7 sistem sistem sistem-sistem
35 Hal. 76 III/7 bentuk- bentuk bentuk-bentuk
36 Hal. 83 I/2 acts of ommission acts of ommission
37 Hal. 84 III/19 penidasan penindasan
38 Hal. 85 I/3 pembunuhan diluar hukum pembunuhan di luar hukum
39 Hal. 85 I/15 diantaranya di antaranya
40 Hal. 87 I/5, 14, 16, 20 parohan, paruhan, paroh paruh
41 Hal. 88 II/21 diberbagai di berbagai
42 Hal. 89 I/3, 4 horisontal horizontal
43 Hal. 92 I/1 dimuka umum di muka umum
44 Hal. 92 I/6 sweeping sweeping
45 Hal. 95 III/3 kultular kultural
46 Hal. 96 I/2 berintraksi berinteraksi
47 Hal. 102 III/5 bentuk dibentuk
48 Hal. 105 I/6 akhimnya, mengangap akhirnya, menganggap
49 Hal. 107 I/5 akhimnya akhirnya
50 Hal. 110 III/3 disamping di samping
51 Hal. 111 I/1 diatas di atas
52 Hal. 114 V/8 Praperdilan Praperadilan
53 Hal. 115 I/2 diluar di luar
54 Hal. 115 II/2, 3 dimana di mana
55 Hal. 115 II/6 diantaranya di antaranya
56 Hal. 115 IV/8 sebagai mana sebagaimana
57 Hal. 117 III/4 dimana di mana
58 Hal. 117 IV/4 kepantingan kepentingan
59 Hal. 118 I/11 Disamping, diatas Di samping, di atas
60 Hal. 119 I/9 dimana di mana
61 Hal. 121 V/8 adirnya hadirnya
62 Hal. 122 III/4 digunkannya digunakannya
63 Hal. 123 II/1 Ham HAM
64 Hal. 125 I/2-4, II/1-3 Terjadi pengulangan penulisan sbb:
Pengalaman pengadilan ……. kejahatan kemanusiaan. Terjadi pengulangan penulisan sbb:
Pengalaman pengadilan ….. kejahatan kemanusiaan.
65 Hal. 127 I/2, II/9, 10,12 mahluk makhluk
66 Hal. 129 II/4 mahluk makhluk
67 Hal. 131 III/3 dimana di mana
68 Hal. 132 II/6 dihadapan dukum di hadapan hukum
69 Hal. 143 IV/5 Kalimat terakhir terpotong dan belum selesai. –
70 Hal. 155 I/2, II/8 instumen instrumen
71 Hal. 161 I/3 diantaranya di antaranya
72 Hal. 162 III/5 Diantara Di antara
73 Hal. 164 I/5, II/6 dimana, kemana di mana, ke mana
74 Hal. 165 III/1 azasi asasi
75 Hal. 169 III/6 dimana di mana
76 Hal. 180 I/16 tuhan Tuhan
77 Hal. 183 II/8 Ratifi-kasi Ratifikasi
78 Hal. 190 IV/1 Kontitusi Konstitusi

 

Pertumbuhan dan Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan

Oleh: Abdul Ghofur

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga membawa bangsa Arab dari masa jahiliyah dan keterbelakangan menuju bangsa yang maju dan terkenal sampai sekarang ini. Pada masa perkembangannya, Islam mengalami beberapa kali pergantian khalifah setelah Rasulullah wafat untuk meneruskan perjuangan menegakkan agama Allah, dalam prosesnya diiringi dengan berbagai silang pendapat, perpecahan, pembunuhan, dan perang saudara.
Islam mengalami kejayaan (masa keemasan) dan kemunduran. Namun agama Islam terus berkembang dan dianut oleh manusia di berbagai belahan muka bumi. Setelah Nabi wafat maka dakwah Islamiyah diteruskan oleh khulafaurrasyidin, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang dipandang memiliki kebijaksanaan, kemampuan, dan dapat mempimpin jalannya pemerintahan dan mampu memberikan pengarahan terhadap dakwah Islam serta menyelesaikan berbagai problematika umat. Dari sinilah muncul polemik seputar sahabat yang berhak menjadi pengganti kedudukan Nabi SAW, hal ini dapat dipahami disebabkan Nabi SAW tidak pernah menunjuk langsung salah seorang sahabat untuk menggantikan Nabi SAW.
Saat umat Islam kehilangan pemimpin yang selama ini menjadi tempat mengadu, para kepala kabilah sepakat untuk mengangkat dan membaiat Abu Bakar menjadi khalifah pertama. Di akhir kepemimpinan Abu Bakar menjadi khalifah, Abu Bakar bermusyawarah dengan pemuka sahabat dan kemudian sepakat untuk mengangkat Umar bin Khattab untuk menghindari perpecahan dan perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam. Kebijakan ini diterima oleh masyarakat dan kemudian sahabat Umar bin Khattab diangkat dan dibaiat menjadi Khalifah yang kedua. Kemudian di akhir kepemimpinan sahabat Umar bin Khattab beliau menunjuk sebuah tim untuk bermusyawarah siapa yang akan menggantikan Umar Bin Khattab. Akhirnya tim ini berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas secara lebih detail dan mendalam mengenai pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam pada masa khalifah ketiga Utsman bin Affan. Semoga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Utsman bin Affan?
2. Bagaimana proses pengangkatan khalifah Utsman bin Affan?
3. Bagaimana karakter dan gaya kepemimpinan Utsman bin Affan?
4. Bagaimana peradaban Islam pada masa Utsman bin Affan?
5. Apa saja prestasi Utsman bin Affan?
6. Bagaimana kronologi terbunuhnya Utsman bin Affan?

C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui biografi Utsman bin Affan
2. Untuk mengetahui proses pengangkatan khalifah Utsman bin Affan
3. Untuk mengetahui karakter dan gaya kepemimpinan Utsman bin Affan
4. Untuk mengetahui peradaban Islam pada masa Utsman bin Affan
5. Untuk mengetahui apa saja prestasi Utsman bin Affan
6. Untuk mengetahui kronologi terbunuhnya Utsman bin Affan
Adapun manfaat penulisan makalah ini agar dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam dan mendetail mengenai pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam pada masa khalifah Utsman bin Affan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Utsman bin Affan
Utsman dilahirkan pada tahun ke enam dari tahun gajah. Nama aslinya adalah Utsman bin Affan bin Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdus Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Al-Quraisy Al-Umawi Al-Makki Al-Madani, Abu ‘Amr. Ibu Utsman bernama Arwa binti Kariz bin Rabi’ah bin Habib bin Abdus Syams bin Abdu Manaf.
Ayah Utsman, Affan adalah seorang saudagar yang kaya raya dari suku Quraisy-Umayyah. Nasab Utsman melalui garis ibunya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf ibn Qushayi. Kalau Utsman bersambung melalui Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf. Baik suku Umayyah maupun suku Hasyim sejak sebelum Islam sudah mengadakan persaingan dan permusuhan yang sangat keras. Setelah Islam, Nabi berusaha mendamaikan kedua suku maupun suku-suku lain melalui ikatan perkawinan dan juga melancarkan dakwah Islam.
Utsman bin Affan menikah dengan putri Nabi yang bernama Ruqayyah dan Ummi Kultsum yang meninggal pada tahun 9 H. Tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang menikah dengan putri Rasulullah SAW sampai dua kali, oleh karena itu beliau dijuluki dengan dzun-nurain (pemilik dua cahaya). Dia termasuk kalangan sahabat yang pertama kali masuk Islam, orang yang pertama kali melakukan hijrah, salah seorang dari sepuluh orang sahabat yang mendapat jaminan surga dari Rasulullah, dan salah seorang sahabat penghimpun Al-Qur’an.
Sahabat Utsman bin Affan termasuk sahabat yang paling kaya dan dermawan. Hal ini dibuktikan beliau membeli telaga milik Yahudi seharga 12.000 dirham dan menghibahkan untuk kaum muslimin saat hijrah ke Yatsrib, mewakafkan tanah seharga 15.000 dinar untuk perluasan Masjid Nabawi, menyerahkan 940 ekor unta, 60 ekor kuda, 10.000 dinar untuk keperluan Jaisyul Usrah (bekal pasukan yang sedang mengalami kesulitan) pada Perang Tabuk, membebaskan satu budak laki-laki dan perempuan setiap hari Jumat, dan menjual barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah saat paceklik.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Utsman mengikuti beberapa peperangan, di antaranya Perang Uhud, Khaibar pembebasan kota Mekah, Perang Thaif, Hawazin, dan Tabuk. Pada Perang Badar, Utsman tidak ikut karena diperintahkan oleh Rasulullah menunggu istrinya yang sedang sakit sampai meninggalnya.

B. Proses Pengangkatan Utsman bin Affan
Menjelang wafatnya Umar bin Khattab, Umar telah membentuk majelis khusus untuk pemilihan khalifah berikutnya. Majelis atau panitia pemilihan itu terdiri dari enam sahabat dari berbagai kelompok. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka berkumpul untuk bermusyawarah di sebuah rumah membicarakan tentang urusan ini, hingga akhirnya mengerucut pada tiga kandidat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, dan Utsman bin Affan.
Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan dari Abi Wail dia berkata: Saya katakan kepada Abdurrahman bin Auf: Bagaimana kau membaiat Utsman dan kau tinggalkan Ali? Dia berkata: Apakah saya salah dengan membaiatnya? Saya pertama kali mengajukan urusan ini kepada Ali dan saya katakan: Saya akan membaiatmu dengan kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan atas sunnah Abu Bakar dan Umar! Namun dia berkata: Semampu saya! Lalu saya tawarkan kepada Utsman dan dia berkata: Ya!
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman berkata kepada Utsman di sebuah tempat tertutup: Jika saya tidak membaiatmu, maka siapa yang kau usulkan? Ia berkata “Ali”. Kemudian ia (Abdurrahman) berkata kepada Ali, jika saya tidak membaiatmu, maka siapa yang kau usulkan untuk dibaiat? Ali berkata, “Utsman”. Kemudian ia memanggil Zubair bin Awwam dan berkata: Jika saya tidak membaiatmu, siapa yang kamu usulkan? Dia menjawab Ali atau Utsman. Kemudian ia memanggil Sa’ad dan berkata: Siapa yang kau usulkan untuk menjabat khalifah? Adapun saya dan engkau sama-sama tidak menyukainya, dia berkata: Utsman. Lalu Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata mayoritas memilih Utsman sebagai khalifah. Dari percakapan dua sahabat tersebut, maka tampak bahwa sesungguhnya Utsman dan Ali tidak ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menentukan khalifah secara musyawarah.
Abdurrahman langsung membaiatnya saat itu juga diikuti oleh para sahabat dan kaum muslim. Orang kedua yang membaiat Utsman adalah Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian kaum muslim bersepakat menerima Utsman sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab. Haris bin Mudhrab berkata, “Aku berjanji pada masa Umar, kaum muslim itu tidak merasa ragu bahwa khalifah berikutnya adalah Utsman.” Riwayat lain menyatakan bahwa Ali adalah orang pertama yang membaiat Utsman. Dan ada pula yang menyebutkan Ali adalah orang terakhir yang membaiat Utsman.

C. Karakter dan Gaya Kepemimpinan Utsman bin Affan
Utsman bin Affan dikenal sebagai seorang pemimpin yang familier dan humanis. Namun gaya kepimimpinan yang familier berdampak kurang baik, yaitu munculnya nepotisme dalam pemerintahan Utsman, sebab Utsman kemudian banyak mengangkat pejabat-pejabat Negara dari kerabatnya sendiri dan kurang mengakomodir pejabat di luar kerabat beliau. Inilah yang kemudian menyebabkan munculnya kerusuhan dan pergolakan dalam pemerintahannya.
Pandangan lain menyatakan adanya upaya memojokkan pemerintahan Utsman bin Affan sebagai rezim nepotisme yang hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi motif sosial politik belaka. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman bin Affan. Terhadap berbagai kecaman tersebut, khalifah telah berupaya untuk mengklarifikasi dan melakukan tindakan politis sebatas kemampuan.
Hal ini misalnya dapat dilihat tentang pemborosan uang negara, Utsman menepis keras tuduhan keji ini. Benar jika ia dikatakan banyak membantu saudara-saudaranya dari Bani Umayyah, tetapi itu diambil dari kekayaan pribadinya. Sama sekali bukan dari kas negara, bahkan khalifah tidak mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjabat khalifah, justru Utsman jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi permasalahn kaum muslimin.
Dalam sebuah khotbahnya Utsman pernah menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut: “Pada saat pencapaianku menjadi khalifah, aku adalah pemilik kambing dan unta yang paling banyak di Arab. Hari ini aku tidak memiliki kambing atau unta kecuali yang digunakan untuk kendaraan dalam ibadah haji”. Sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mengumpulkan harta seperti di masa sebelum diangkat menjadi khalifah. Tentang penyokong mereka, aku memberikan kepada mereka apa pun yang dapat aku berikan dari milikku pribadi. Tentang harta kekayaan negara, aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun orang lain (keluargaku). Aku tidak mengambil apa pun dari kekayaan negara, apa yang aku makan adalah hasil nafkahku sendiri.
Oleh karenanya tuduhan nepotisme terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan hanyalah entrik politik oleh para pesaingnya yang juga memilki kepentingan kekuasaan, hal tersebut terlihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan suasana agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan yang dimilki oleh Khalifah Utsman bin Affan. Tuduhan pemborosan uang negara dan tuduhan nepotisme ini terbukti tidak benar karena tidak semua pejabat yang diangkat merupakan kerabatnya. Selain itu meski kerabatnya sendiri, jika pejabat tersebut melakukan kesalahan maka Utsman tidak segan-segan untuk menghukum dan memecatnya.
Sayangnya tuduhan nepotisme itu terlalu kuat, sehingga banyak yang beranggapan bahwa Utsman telah melakukan nepotisme. Hal ini diperkuat dengan adanya golongan Syiah, yaitu golongan yang sangat fanatik terhadap Ali dan berharap Ali yang menjadi khalifah bukan Utsman. Fitnah yang terus melanda Utsman inilah yang memicu kekacauan dan akhirnya menyebabkan Utsman terbunuh di rumahnya.

D. Peradaban Islam Masa Utsman bin Affan
1. Ekspansi Daerah Kekuasaan
Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah semenjak 23-35 H atau 644-656 Masehi. Ia merupakan khalifah yang memerintah paling lama, yaitu 12 tahun. Dari segi politik, Utsman merupakan khalifah yang paling banyak melakukan perluasan daerah (ekspansi). Hal ini sebanding dengan lamanya ia menjabat sebagai khalifah. Pada masanya, Islam telah berkembang di Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. Pesatnya perkembangan wilayah Islam didasarkan karena tingginya semangat dakwah menyebarkan agama Islam dan sikap para pendakwah Islam yang santun dan adil sehingga membuat Islam mudah untuk diterima para penduduk wilayah-wilayah tersebut.
Selain banyak melakukan perluasan daerah, dari segi politik, Utsman adalah khalifah pertama yang membangun angkatan laut. Alasan pembuatan angkatan laut tersebut masih berhubungan dengan keinginan untuk memperluas daerah Islam. Karena untuk mencapai daerah-daerah yang akan ditaklukkan harus melalui perairan, Utsman berinisiatif untuk membentuk angkatan laut. Selain itu, pada saat itu banyak terjadi serangan-serangan dari laut. Hal ini semakin memperkuat alasan Utsman untuk membentuk angkatan laut dan memberikan kepercayaan tersebut kepada Muawiyah bin Abi Sofyan.
2. Pembukuan Al-Qur’an
Pada masa Abu Bakar, tugas pengumpulan Al-Quran telah selesai dengan baik dikerjakan oleh tim Zaid bin Sabit. Kekhawatiran bahwa Al-Quran akan lenyap dengan wafat atau syahidnya para sahabat yang hafal Al-Quran tidak ada lagi. Umat Islam merasa tenteram terhadap kitab sucinya dan terpelihara dengan baik.
Pada masa Umar bin Khattab, tugas pengumpulan dan penyempurnaan Al-Quran itu tidak dilanjutkan. Boleh jadi khalifah menganggap masih banyak persoalan penting lainnya yang harus diselesaikan. Fokus perhatian khalifah waktu itu adalah bidang penyiaran agama Islam dengan sendirinya mengurangi waktu dan energi. Berturut-turut dalam waktu 10 tahun seluruh semenanjung Arabia, Suriah, Irak, Parsi (Iran sekarang), Palestina, Mesir, Khurasan, dan lain-lain sudah berada di bawah panji-panji Islam.
Pada saat Umar wafat, Al-Quran masih belum sempurna dibukukan, sekalipun tidak ada kekhawatiran ayat-ayat suci tersebut akan hilang karena tersimpan dengan rapi di rumah khalifah. Pada masa Utsman wilayah kekuasaan khalifah semakin luas. Daerah Afrika Utara, Asia Tengah, dan lainnya dimasuki para juru dakwah Islam. Karena semakin luasnya daerah Islam dan semakin beraneka ragam bangsa-bangsa non-Arab yang memeluk agama Islam, maka persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-Quran muncul kembali.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Huzaifah ibnu Yaman yang dapat dianggap sebagai motif yang mendorong khalifah Utsman mengumpulkan dan menyeragamkan penulisan Al-Quran. Abu Huzaifah kebetulan ikut berperang bersama prajurit Islam lainnya pada pertempuran Armenia dan Azerbaijan, dan kemenangan diperoleh umat Islam. Selesai pertempuran Abu Huzaifah menghadap khalifah. Dia menceritakan pengalamannya sehubungan dengan Al-Quran. Dia melaporkan bahwa dewasa ini mulai timbul gejala-gejala perbedaan pendapat mengenai soal qira’at Al-Quran di kalangan umat Islam.
Hal ini segera ini ditanggapi oleh khalifah. Ia mengirim utusan kepada Hafsah binti Umar (istri Rasulullah SAW) untuk meminta mushaf yang disimpan di rumahnya. Hafsah memenuhi permintaan itu, dan berdasarkan mushaf yang asli dan otentik itu, Utsman mulai bekerja. Zaid yang waktu itu masih hidup, ditunjuk oleh Utsman sebagai ketua tim pembukuan Al-Quran dengan anggota-anggotanya. Utsman menggariskan kerja tim Zaid ini sebagai tersebut dalam amanahnya: “Apabila kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Sabit mengenai sesuatu yang menyangkut Al-Quran, hendaklah kalian tulis ia dengan bahasa Quraisy, sebab sesungguhnya ia diturunkan dengan bahasa mereka.”
Dengan demikian, Utsman menetapkan bahasa Quraisy sebagai bahasa standar dalam soal penulisan dan perbedaan. Dalam penyusunan ini dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perebedaan serius dalam bacaan Al-Quran. Hasil usaha tim Zaid yang diserahkan kepada khalifah itu selanjutnya disebut mushaf Al Imam atau lebih dikenal sebutan “Mushaf Utsmani”. Utsman memerintahkan menyalin mushaf Abu Bakar (yang ada pada Hafsah) sebanyak 5 salinan. Empat salinan itu dikirim kepada penguasa di Mekah, Kufah, Basrah, dan Suriah, aslinya dipegang oleh Utsman sendiri. Setelah itu beliau memerintahkan kaum muslimin membakar semua catatan-catatan yang ada selain mushaf dan beliau memerintahkan agar Al-Quran dibaca menurut qira’at yang terdapat dalam materi mushaf Ustmani atau Mushaf Imam. Kemudian khlalifah Utsman menegaskan bahwa Mushaf Utsman adalah salinan dari mushaf yang asli secara sah, digunakan sebagai pegangan bagi umat dengan mushaf yang sudah teratur dan sempurna, sehingga segala perbedaan yang timbul dalam soal qira’at dan lain-lain dapat dikendalikan.
3. Politik dan Pemerintahan
Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu pada periode kemajuan dan kemunduran sampai ia terbunuh. Periode pertama, pemerintahan Utsman membawa kemajuan luar biasa berkat jasa panglima yang ahli dan berkualitas di mana peta Islam sangat luas dan bendera Islam berkibar dari perbatasan Aljazair (Barqah Tripoli, Syprus di front al-Maghrib bahkan ada sumber menyatakan sampai ke Tunisia). Di al-Maghrib, di utara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia kecil, di Timur laut sampai ke Mawara al-Nahar Transoxiana, dan di Timur seluruh Persia bahkan sampai di perbatasan Balucistan (sekarang wilayah Pakistan), serta Kabul dan Ghazni. Selain itu ia juga berhasil membentuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh dan menghalau serangan-serangan di laut tengah yang dilancarkan oleh tentara Bizantium dengan kemenangan pertama kali di laut dalam sejarah Islam.
Pada periode kedua, kekuasaannya identik dengan kemunduran dengan huru-hara dan kekacauan yang luar biasa sampai ia wafat. Para pejabat dan para panglima era Umar hampir semuanya dipecat oleh Utsman, kemudian mengangkat dari keluarga sendiri yang tidak mampu dan tidak cakap sebagai pengganti mereka. Adapun para pejabat Utsman yang berasal dari famili dan keluarga dekat, di antaranya Muawiyah bin Abi Sofyan, Gubernur Syam, satu suku dan keluarga dekat Utsman. Oleh karena itu, Utsman diklaim bahwa ia telah melakukan nepotisme.
Namun pada kenyataannya bukan seperti apa yang telah dituduhkan kepada Utsman, dengan berbagai alasan yang dapat dicatat bahwa Utsman tidak melakukan nepotisme, di antaranya:
a. Para gubernur yang diangkat oleh Utsman tidak semuanya famili Utsman. Ada yang saudara atau anak asuh, ada yang saudara susuan, ada pula saudara tiri.
b. Ia mengangkat familinya tentunya atas pertimbangan dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
c. Meskipun sebagian pejabat diangkat dari kalangan famili, namun mereka semuanya punya reputasi yang tinggi dan memiliki kemampuan.
Melihat fakta-fakta tersebut di atas, jelas bahwa nepotisme Utsman tidak terbukti. Karena pengangkatan saudara-saudaranya itu berangkat dari profesionalisme kinerja mereka di lapangan. Akan tetapi memang pada masa akhir kepemimpinan Utsman, para gubernur yang diangkat tersebut bertindak sewenang-wenang terutama dalam bidang ekonomi. Mereka di luar kontrol Utsman yang memang sudah berusia lanjut sehingga rakyat menganggap hal tersebut sebagai kegagalan Utsman.
Pada masa pemerintahannya, harta berlimpah, sampai-sampai ia pernah mengutus budak perempuan untuk menimbangnya. Ia adalah orang pertama yang memperluas Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, membangun pangkalan angkatan laut, menyuruh membentuk kepolisian Negara, dan mendirikan gedung pengadilan. Ia juga yang mendahulukan khotbah pada shalat Ied dan menambahkan azan pada shalat Jum’at.
4. Militer
Pada pemerintahan Utsman negeri Tabaristan berhasil ditaklukan oleh Sa`id bin Ash. Dikatakan bahwa tentara Islam dalam penaklukan ini telah menyertakan Al-Hasan dan Al-Husain, kedua putra Ali, begitu pula Abdullah bin Al-Abbas, Amr bin Ash, dan Zubair bin Awwam. Pada masa pemerintahan Utsman pun kaum muslimin berhasil memaksa raja Jurjun untuk memohon berdamai dari Sa`ad bin Ash dan untuk ini ia bersedia menyerahkan upeti senilai 200.000 dirham setiap tahun kepadanya.
Termasuk juga menumpas pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk ke bawah kekuasaan Islam di zaman Umar. Pendurhakaaan itu ditimbulkan oleh pendukung- pendukung pemerintah yang lama atau dengan kata lain pemerintahan sebelum daerah itu berada dalam kekuasaan Islam, mereka hendak mengembalikan kekuasaannya. Daerah tersebut antara lain adalah Khurasan dan Iskandariyah.
Pada tahun 25 H penguasa di Iskandariyah mengingkari perjanjiaan dengan Islam, karena mereka dihasut oleh bangsa Romawi yang menjanjikan mereka bermacam-macam janji yang muluk-muluk. Maka Utsman memerintahkan gubernur Amru bin Ash yang ketika itu menjabat sebagi penguasa di Mesir untuk memerangi Iskandariyah, sehingga akhirnya penguasanya mengutus dutanya untuk membuat perjanjian dan kembali tunduk kepada kerajaan Islam di Madinah.
Pada tahun 31H penduduk Khurasan mendurhaka sehingga Utsman mengirim Abdullah bin Amir, gubernur Basrah, bersama sejumlah besar tentara untuk menaklukkan kembali mereka. Terjadilah perang antara tentara Islam dengan penduduk Merw, Naisabur, Nama, Hirang, Fusang, Bigdis, Merw As-Syahijan, dan lain-lain dari penduduk wilayah Khurasan. Dalam perang ini kaum muslimin berhasil menaklukan kembali wilayah Khurasan.
Menurut para ahli sejarah mereka berpendapat bahwa zaman pemerintahan khalifah Utsman bin Affan sebagai zaman keemasan di mana tentara Islam mendapat kemenangan yang luar biasa, satu demi satu, dan mereka dapat mengusai banyak dari negeri-negeri yang dahulunya berada di bawah kekuasaan Romawi, Persia, dan Turki. Secara singkat umat Islam pada saat itu telah sampai pada puncak kekuasaan dan kekuatan di bidang kemiliteran, yang tidak diraih oleh zaman-zaman sesudahnya.
5. Perekonomian
Dari segi ekonomi, yaitu tentang pelaksanaan baitul maal, Utsman hanya melanjutkan pelaksanaan yang telah dilakukan pada masa sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Namun, pada masa Utsman, Ia dianggap telah melakukan korupsi karena terlalu banyak mengambil uang dari baitul maal untuk diberikan kepada kerabat-kerabatnya. Padahal, tujuan dari pemberian uang tersebut karena Utsman ingin menjaga tali silaturahim. Selain itu, di samping dari segi baitul maal, Utsman juga meningkatkan pertanian. Ia memerintahkan untuk menggunakan lahan-lahan yang tak terpakai sebagai lahan pertanian.
Dari segi pajak, Utsman, sama seperti dari segi baitul maal, melanjutkan perpajakan yang telah ada pada masa Umar. Namun sayangnya, pada masa Utsman pemberlakuan pajak tidak berjalan baik sebagaimana ketika masa Umar. Pada masa Utsman, demi memperlancar ekonomi dalam hal perdagangan, ia banyak melakukan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya.
6. Sosial, Budaya, dan Pendidikan
Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam. Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Selain itu adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Dari segi sosial budaya, Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Hal ini merupakan sebuah terobosan, karena sebelumnya peradilan dilakukan di masjid. Utsman juga melakukan penyeragaman bacaan Al Qur’an juga perluasan Masjid Haram dan Masjid Nabawi.
Penyeragaman bacaan dilakukan karena pada masa Rasulullah SAW, beliau memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk membaca dan menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah (dialek) masing-masing. Seiring bertambahnya wilayah Islam dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam, maka diperlukan penyeragaman bacaan yang menjadi semakin bervariasi. Perluasan Masjid Haram dan Masjid Nabawi sendiri dilakukan karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang melaksanakan haji setiap tahunnya.

E. Prestasi Utsman bin Affan
Prestasi yang dicapai pada masa khalifah Utsman bin Affan semasa pemerintahannya antara lain:
1. Perluasan wilayah (ekspansi) dari perbatasan Aljazair (Barqah Tripoli, Syprus di front al-Maghrib bahkan ada sumber menyatakan sampai ke Tunisia). Di al-Maghrib, di utara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia kecil, di Timur laut sampai ke Mawara al-Nahar Transoxiana, dan di Timur seluruh Persia bahkan sampai di perbatasan Balucistan (sekarang wilayah Pakistan), serta Kabul dan Ghazni.
2. Membangun dan memperluas Masjid Haram dan Masjid Nabawi.
3. Keberhasilan penulisan, pengumpulan, dan pembukuan Al-Qur’an, adapun yang menjadi ketua penulisan adalah Zaid bin Tsabit.
4. Membangun pangkalan angkatan laut, membentuk kepolisian Negara, dan mendirikan gedung pengadilan.
5. Melanjutkan pelaksanaan baitul maal dan sistem perpajakan khalifah sebelumnya. Serta untuk memperlancar ekonomi perdagangan, dilaksanakan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya.
6. Ilmu pengetahuan berkembang dengan baik dan pesat. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam, sehingga Islam lebih dikenal di berbagai belahan dunia.

F. Kronologi Terbunuhnya Utsman bin Affan
Fitnah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada khalifah Utsman bin Affan semakin tersebar di berbagai kota. Gagasan mosi tidak percaya kepada khalifah Utsman semakin luas dan tidak pernah berhenti. Mereka mengajak seluruh kaum muslimin untuk pergi ke Madinah menghadap kepada khalifah untuk menyampaikan mosi tidak percaya kepada para pejabat yang diangkat oleh Utsman.
Jumlah para penyebar fitnah sekitar 1000 orang mereka menyusun strategi dengan membagi menjadi beberapa kelompok, tugas untuk menyebar fitnah di Mesir adalah Abdullah bin Saba’ dan al-Ghifaqi bin Harb, di Kufah disebarkan oleh Amr bin Ashm dan Zaid bin Shaujan Al-Abdi, di Basrah disebarkan oleh Harqus bin Zahir dan Hakim bin Jabalah Al-Abdi.
Pada awalnya mereka datang ke Madinah hanya ingin menyampaikan kepada Utsman bahwa mereka meminta khalifah Utsman bin Affan mengganti gubernur dan pejabat yang menyeleweng, setelah permintaan mereka dikabulkan oleh Utsman mereka kembali ke Mesir dengan dikomandoi oleh Muhammad bin Abu Bakr. Di tengah perjalanan mereka menemukan surat yang diberi stempel atas nama Utsman bin Affan yang berisi perintah kepada Gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakr dan kaumnya. Surat ini menjadi dasar bagi kemarahan para pemberontak dan mereka segera meminta penjelasan kepada Utsman.
Sekembalinya dari mereka ke Madinah, Muhammad bin Abu Bakr bertemu Ali bin Abi Thalib tentang alasan mereka kembali kemudian Ali menjelaskan bahwa surat itu palsu. Namun keadaan semakin gawat karena pemberontak Muhammad bin Abu Bakr segera menyerbu rumah Utsman bin Affan. Pada saat itu Utsman berada di dalam rumah dan rumah beliau dijaga oleh orang-orang Muhajirin dan Anshar berjumlah 700 orang. Utsman bin Affan lantas menyampaikan nasehat kepada pemberontak tidak dibenarkan mengalirkan darah seorang muslim, kecuali karena tiga alasan, kafir, berzina, dan membunuh.
Namun nasehat ini tidak dihiraukan oleh kaum pemberontak sehingga mereka terus mengepung rumah Utsman bin Affan selama 40 hari serta tetap bersikap kasar kepada Utsman bin Affan kemudian pemberontak dapat masuk ke rumah dan mendapati Utsman sedang membaca Al-Qur’an dan sedang berpuasa lalu mereka membunuh Utsman bin Affan dengan kejam.
Pada saat terjadi pembunuhan itu di manakah para sahabat berada? Tidak adakah bantuan dari sahabat yang menghalau pemberontak? Para sahabat sebenarnya tidak tinggal diam bahkan menawarkan beberapa bantuan dan siap membela, namun Utsman bin Affan menolak dan hendak menyelesaikan masalah tanpa terjadi penumpahan darah beliau juga telah mengetahui dari hadis Rasulullah SAW bahwa Utsman akan meninggal dengan terbunuh, Utsman juga mengetahui bahwa jumlah pemberontak sangat banyak dan Utsman tidak menginginkan terjadi pertumpahan darah, fitnah menghendaki adanya orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban, dan Utsman memilih bersabar agar menjadi saksi kepada para sahabat bahwa perintahnya dan penumpahan darahnya dengan tanpa alasan yang benar.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan tentang pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam pada masa khalifah Utsman bin Affan pada makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Utsman dilahirkan pada tahun ke enam dari tahun gajah. Nama aslinya adalah Utsman bin Affan bin Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdus Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Al-Quraisy Al-Umawi Al-Makki Al-Madani, Abu ‘Amr. Nasab Usman melalui garis ibunya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf ibn Qushayi.
2. Utsman bin Affan diangkat menjadi khalifah melalui tim pelaksana pemilihan yang terdiri dari Ali bin Abi thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Thalhah. Adapun sebagai ketua tim adalah Abdurrahman bin Auf.
3. Utsman bin Affan dikenal sebagai seorang pemimpin yang familier dan humanis. Namun gaya kepimimpinan yang familier berdampak kurang baik, yaitu munculnya nepotisme dalam pemerintahan Utsman, sebab Utsman kemudian banyak mengangkat pejabat-pejabat Negara dari kerabatnya sendiri dan kurang mengkomodir pejabat di luar kerabatnya. Meskipun tuduhan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun hal tersebut menyebabkan pergolakan dalam pemerintahan Utsman.
4. Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan terjadi peradaban yang luar biasa serta kemajuan dalam berbagai lini kehidupan, di antaranya ekspansi daerah kekuasaan, bidang politik pemerintahan, militer, perekonomian, sosial budaya, dan pendidikan. Juga yang terpenting adalah berhasil dibukukannya Al-Qur’an yang disebut mushaf Al Imam atau lebih dikenal Mushaf Utsmani.
5. Prestasi yang dicapai pada masa khalifah Utsman bin Affan semasa pemerintahannya antara lain: a) Perluasan wilayah (ekspansi) di berbagai wilayah Timur Tengah dan di sekitarnya. b) Membangun dan memperluas Masjid Haram dan Masjid Nabawi. c) Keberhasilan pembukuan Al-Qur’an. d) Membangun pangkalan angkatan laut, membentuk kepolisian Negara, dan mendirikan gedung pengadilan. e) Melanjutkan pelaksanaan baitul maal dan sistem perpajakan khalifah sebelumnya dan memperlancar ekonomi perdagangan, dilaksanakan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya. e) Ilmu pengetahuan berkembang dengan baik dan pesat.
6. Fitnah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada khalifah Utsman bin Affan semakin tersebar di berbagai kota. Gagasan mosi tidak percaya kepada khalifah Utsman semakin luas dan tidak pernah berhenti. Akhirnya khalifah Utsman dibunuh dengan kejam oleh para pemberontak.

B. Saran
Sebagai generasi intelektual muda muslim kita hendaknya memiliki sikap yang arif dan bijak dalam melihat dan memahami sejarah peradaban Islam. Karena sejarah ditulis oleh seseorang sesuai dengan pengalaman dan latar belakang kehidupan masing-masing. Kita hendaknya menghargai setiap tulisan yang dibuat sejarawan. Dari sejarah itu, kita bisa belajar hal-hal penting untuk kemajuan dan menghindari hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan kemunduran. Utamanya untuk kemajuan Islam, mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hafizh Ibnu Katsir. 2012. Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul Yang Agung. Jakarta: Darul Haq.
Ali Mufradi. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Badri Yatim. 2013. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dedi Supriyadi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Imam As-Suyuthi. 2000. Tarikh Khulafa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Khairul Amru Harahap. 2009. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta: Al-Kaustar.
Musthafa Murad. 2007. Kisah Kehidupan Usman Ibn Affan. Jakarta: Zaman.
Samsul Munir Amin. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, al-Mausu’ah al-Mubassirah fi al-Tarikh al-Islami, terj. M.Taufik dan Ali Nurdin. 2013. Ensiklopedi Sejarah Islam. Jakarta: Al-Kautsar.

IMG-20161127-WA0012

Perkuliahan Sejarah Kebudayaan dan Peradaban Islam bersama Bp. Dr. H. Amir Mahmud, M.Ag. – UNU Surakarta

IMG-20161127-WA0001

IMG-20161127-WA0011

Pendekatan Sosiologis dalam Pengkajian Islam

Oleh: Abdul Ghofur

BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Agama merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, oleh karena itu manusia disebut sebagai homo religious. Agama berhubungan dengan keyakinan, keimanan, dan kepercayaan seorang manusia. Dalam pembahasan ini, agama dipandang dan diteliti tidak secara sepihak atau memandang agamanya lebih baik dan menghina agama lain. Di sini pemahaman agama dipandang secara obyektif, yaitu dengan mengungkapkan beberapa pandangan dari beberapa tokoh dan ilmuwan.

Pada awalnya orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. Kasus seperti ini juga terjadi di Indonesia pada awal tahun 70-an, di mana penelitian agama masih dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang menyatakan bahwa agama sudah begitu mapan tidak perlu diteliti lagi, agama adalah wahyu Allah SWT yang tidak bisa diutak-atik. Namun seiring perkembangan zaman, sebagian besar orang dapat memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Di era modern sekarang ini, penelitian terhadap agama bukan hal yang baru, berbagai ahli dan ilmuwan berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan masing-masing.

Ajaran-ajaran esensial Islam terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits, namun selama ini beberapa kalangan masyarakat Islam masih memandang Islam secara sempit, yakni sebatas pada hal-hal yang bersifat normatif, formalistis, dan simbolis, perlu adanya upaya sadar bagi umat Islam untuk bisa memperbarui cara pandang yang sempit tersebut, sehingga Islam memiliki dimensi kajian dan pengalaman yang lebih luas.

Charles J. Adams dalam kaitannya agar dimensi Islam menjadi lebih luas dan utuh menjelaskan pentingnya tentang apa itu Islam dan agama agar dapat didefinisikan dengan tepat sesuai dengan konteksnya. Kemudian Charles mengutarakan beberapa pendekatan dalam studi Islam di antaranya pendekatan yang dapat ditawarkan yakni pendekatan normatif-keagamaan, pendekatan ilmu-sosial, pendekatan psikologis-antropologis, dan lainnya.

Dalam makalah ini akan dibahas secara lebih detail dan mendalam mengenai salah satu pendekatan dalam pengkajian Islam, yaitu pendekatan sosiologis. Semoga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif mengenai pendekatan sosiologis dalam pengkajian Islam.

2.Rumusan Masalah

  1. Apa definisi pendekatan sosiologis?
  2. Bagaimana hubungan agama dengan kehidupan sosial?
  3. Apa saja macam pendekatan sosiologis?
  4. Bagaimana peran pendekatan sosiologis dalam tradisi intelektual Islam?
  5. Apa signifikasi dan kontribusi pendekatan sosiologis?

3.Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari kajian ini antara lain:

  1. Untuk mengetahui definisi pendekatan sosiologis
  2. Untuk mengetahui hubungan agama dengan kehidupan sosial
  3. Untuk mengetahui macam pendekatan sosiologis
  4. Untuk mengetahui peran pendekatan sosiologis dalam tradisi intelektual Islam
  5. Untuk mengetahui signifikasi dan kontribusi pendekatan sosiologis

Adapun manfaat penulisan makalah ini agar dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam dan mendetail mengenai pendekatan sosiologis dalam pengkajian Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

 1.Definisi Pendekatan Sosiologis

Pendekatan dapat didefinisikan cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu. Dalam konteks ini ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang digunakan dalam memahami agama. Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai realitas kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.[1]

Sedangkan sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu socius yang berarti kawan, teman, sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial yakni mengandung cara-cara bertindak, berfikir, berperasaan yang berada di luar individu. Sosiologi juga diartikan ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk, dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama.

Adapun menurut Soerjono Soekanto, sosiologi diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.[2] Walaupun banyak definisi tentang sosiologi, namun intinya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala sosial, struktur sosial, perubahan sosial, dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Dari uraian di atas dipahami bahwa pendekatan sosiologis adalah suatu pandangan atau paradigma yang digunakan untuk menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut. Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama, hal ini dikarenakan banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila ditelaah dan dikaji melalui pendekatan ini.

2.Hubungan Agama dengan Kehidupan Sosial

Agama sering menjadi bahan perbincangan dan berakhir dengan perbedaan yang meruncing, hanya karena masing-masing memandang agama dari sudut pandang yang berbeda. Satu pihak misalnya memandang bahwa kesadaran  agama sedang bangkit, dikarenakan melihat pengunjung masjid yang semakin banyak. Sementara pihak lain menyatakan kemunduran beragama, dikarenakan melihat meningkatnya tindakan kriminal, perilaku anti sosial, dan kemerosotan moral. Kedua pihak tidak akan bertemu, sebelum ditunjukkan kepada mereka bahwa agama yang mereka bicarakan adalah tidak sama. Pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi ritual, yang kedua, dalam dimensi sosial.[3]

Dari sini tampak bahwa dalam membicarakan agama, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari fenomena kehidupan sosial umat yang memeluk agama tertentu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa antara agama dan masyarakat terdapat pengaruh timbal balik dalam artian bahwa agama mempengaruhi hidup kemasyarakatan manusia dalam berbagai bidangnya, demikian pula sebaliknya, bahwa kebanyakan yang berkembang dalam masyarakat mempengaruhi agama pula.[4] Pada intinya dalam agama termuat dua ajaran pokok, yaitu: 1) hal-hal yang mengatur hubungan antara orang yang beragama dengan Tuhannya (hablumminallah), 2) hal yang mengatur hubungan antara sesama hamba (hablumminannas). Poin pertama adalah urusan ritual dan yang kedua urusan sosial.

 Dalam ajaran Islam penekanan mengenai urusan sosial lebih besar daripada urusan ritual. Proporsi Al-Quran dan Al-Hadits terhadap urusan muamalah atau sosial lebih besar daripada ibadah atau ritual, oleh Ayatullah Khomeini menyatakan seperti yang dikutip Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah. Dalam kitab-kitab hadis, bab ibadah  hanya merupakan bagian kecil dari seluruh hadis. Misalnya dari dua puluh jilid Fath al-Bari, Syarah Shahih Bukhari, hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah, selebihnya membicarakan masalah muamalah (sosial).

Bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan). Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah perseorangan. Bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat-nya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Ganjaran orang yang melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan lebih besar daripada ibadah sunnah.

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa agama dan kehidupan sosial memiliki hubungan yang erat, di samping sebagai sebuah keyakinan (belief), agama juga merupakan gejala sosial, artinya agama yang dianut  melahirkan perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.

3.Macam Pendekatan Sosiologis

Sebelum dibahas mengenai macam pendekatan sosiologis, perlu diketahui terlebih dahulu tentang karakterisitik dasar pendekatan sosiologis, yaitu meliputi:[5]

  1. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
  2. Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga masa kanak-kanak, dan usia.
  3. Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi.
  4. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.

Dari karakteristik di atas, dalam sosiologi terdapat berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dapat dikembangkan untuk memahami berbagai fenomena sosial keagamaan. Di antara pendekatan itu yang sering dipergunakan antara lain:

  1. Teori Fungsionalisme, teori ini dikembangkan dari teori-teori klasik, seperti Emile Durkheim, Max Weber, Talcott Parson, dan Robert K. Marton. Salah satu pemikiran Durkheim ialah fakta sosial atau realitas sosial akan membentuk perilaku individu. Berbagai struktur masyarakat dipahami sebagai realitas dan fakta sosial, dan hal ini akan membentuk perilaku individu. Sementara itu Max Weber menganalisa bagaimana pengaruh agama terhadap perilaku ekonomi, khususnya dalam mendorong tumbuhnya kapitalisme. Selain itu, ritus keagamaan dipahami sebagai pranata sosial yang dipelihara oleh para pemeluknya dalam sebuah komunitas sosial, logika yang dikembangkannya ialah: sejauh mana nilai-nilai agama sebagai sebuah pranata sosial berpengaruh terhadap perilaku ekonomi.

Sedangkan Talcott Parson merupakan salah seorang tokoh fungsional yang lebih menekankan pada keserasian, keteraturan, dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial. Menurut Parson, terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati bersama menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap anggota komunitas. Sejalan dengan Parson, Robert K. Marton mengembangkan teori fungsionalisme lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa bila masyarakat merasa puas dengan nilai-nilai yang ada, maka masyarakat akan menghargainya. Nilai yang menjadi patokan bersama merupakan faktor yang dapat mendorong integrasi sosial.[6]

Dari teori-teori yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa metode fungsionalisme bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode tersebut berpendirian pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat.

  1. Teori Konflik

Konflik  artinya percekcokan, perselisihan, pertentangan. Dalam hal ini pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok kecil, bahkan antar bangsa dan negara.[7] Dampak konflik pada umumnya negatif. Misalnya, anak yang mempunyai orang tua yang terus menerus bertengkar akan berkurang kepekaan afeksinya, tetapi mudah terpengaruh perilakunya. Konflik antar tim olahraga atau di dalam perusahaan akan mengurangi prestasi kelompok, dan konflik antar bangsa dapat menyebabkan perang yang menimbulkan banyak korban jiwa. Oleh karena itu, orang lebih menyukai kerja sama dan perdamaian daripada konflik.

Teori konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Max, yang melihat pertentangan dan ekploitasi kelas sebagai penggerak utama, Selain Marx dan Hegel tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser.[8]  Lewis Coser (1956) mengetengahkan peranan konflik sebagai pendorong perubahan sosial. Konflik menurut Coser mempunyai fungsi positif dan fungsi negatif dalam perubahan sosial. Fungsi positif konflik adalah membentuk, mempersatukan, dan memelihara struktur sosial, sedangkan fungsi negatif konflik menimbulkan keraguan dan kebimbangan pada nilai sosial.[9]

Teori-teori konflik dapat digunakan untuk menjelaskan kecenderungan integrasi dan disintegrasi yang dialami sebuah sistem sosial. Teori konflik mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa kelompok yang memiliki kepentingan satu sama lain. Mereka selalu bersaing untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka. Perjuangan untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka seringkali bermuara pada terjadinya konflik antara satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lain.

Ketika terjadi konflik antara satu komunitas dengan komunitas lain, hubungan antara anggota komunitas cenderung integratif, sekalipun sebelumnya terjadi konflik. Kelompok-kelompok beragama yang senantiasa bersaing di Indonesia bersatu menghadapi bahasa komunisme di tahun 1960-an. Partai-partai politik Islam yang sulit bersatu, dalam sidang umum MPR 1999 bersatu membentuk poros tengah untuk menghadapi PDI yang dianggap sebagai saingan bersama. Mereka merasakan adanya musuh bersama yang harus dihadapi, mereka memiliki perasaan senasib sehingga muncul rasa solidaritas antar anggota komunitas. Sebaliknya jika tidak ada konflik antar komunitas, terdapat kecenderungan disintegrasi. Tidak ada rasa senasib, rasa bersama, dan solidaritas antar kelompok. Persaingan antar anggota komunitas mengakibatkan kecenderungan disintegrasi sosial.

Jadi dapat dipahami pendekatan fungsionalisme menekankan pada jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis, sedangkan teori konflik memandang bahwa masyarakat itu terikat kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok atau kelas yang dominan, dengan demikian bidang kajian pendekatan konflik adalah: “Bagaimana kelompok dominan mencapai dan mempertahankan kedudukannya, sebaliknya bagaimana kelompok bawah yang ditekan berjuang melepaskan belenggu yang mengikutinya.[10]

  1. Interpretatif (interpretif)

Sosiologi interpretatif (interpretif) merupakan salah satu jenis dari sosiologi (termasuk interaksionisme simbolik, fenomenologi sosial, dan pendekatan yang dibangun oleh Weber), dipersatukan oleh sebuah penekanan yang dikemukakan oleh para sosiolog untuk memahami atau menafsirkan makna-makna para pelaku sosial. Dalam argumen ini, untuk melihat segala realitas sosial perlu dilakukan pra-interpretasi (interpretasi awal), di mana bentuk ini hanya menyoroti penyelesaian terhadap kepercayaan-kepercayaan dan penafsiran-penafsiran pelaku sosial (social actor), kemudian disimpulkan bahwa tidak ada kebenaran sosiologi tanpa pemahaman awal terhadap makna-makna dari pelaku sosial.

Geertz, sebagaimana yang dikutip oleh Noeng Muhadjir mengemukakan bahwa interpretif adalah mencari “makna”, bukan mencari hukum, berupaya memahami, bukan mencari teori. Menurutnya interpretif merupakan fenomena hermeneutik yang memerlukan pemaknaan, bukan memerlukan penjelasan kausal. Selanjutnya ia mengatakan bahwa tidak ada social facts yang menunggu observasi kita, yang ada adalah kesiapan peneliti untuk memberi makna atas observasinya. Untuk memberi makna perlu membuat inscripsi, bukan sekedar observasi atau deskripsi. Studi Geertz di Jawa, Bali, dan Maroko mencoba memakai konsep-konsep mereka tentang imajinasinya, makna simbolik kata-katanya, institusinya, perilakunya, dan lain-lain.[11]

Postpositifis interpretif mengimplisitkan nilai di balik data, baik pada tingkat observasi, analisis, maupun kesimpulan. “Makna” pada postpositif rasionalistik diperoleh lewat pemaknaan rasional yang spesifik pada payung teori yang lebih umum. “Makna” pada pospositif interpretif diperoleh lewat pemaknaan esensial fenomenologik pada grass-root. Para interpretifis memaknai realitas sosial sesuai dengan  experience-near daripada pemaknaan peneliti sendiri.

Dapat dipahami terdapat 3 jenis dalam pendekatan sosiologis dalam agama, yaitu 1) teori fungsional dalam pendekatan sosial dimaksudkan fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok. Apabila setiap anggota kelompok menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, akan membentuk integrasi kelompok dengan baik. Tapi bila ada anggota kelompok tidak menjalankan fungsinya dengan baik, akan menimbulkan disintegrasi dalam kelompok tersebut. 2) teori konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik akan memungkinkan terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga memungkinkan terjadinya disintegrasi dalam suatu komunitas, tergantung dari sisi mananya konflik itu mau diambil, jika dari sisi positifnya, maka akan membentuk integrasi dan sebaliknya jika dari sisi negatifnya akan membentuk disintegrasi.  3) teori interpretatif dimaksudkan bahwa perlu adanya interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari interpretasi itulah memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau suatu bentuk kehidupan sosial.

4.Pendekatan Sosiologis dalam Tradisi Intelektual Islam

Ibnu Khaldun[12] menghimpun aliran sosiologi dalam karyanya yang monumental Mukaddimah. Cakrawala pemikiran Ibnu Khaldun sangat luas, dia dapat memahami masyarakat dalam segala totalitasnya dan dia menunjukkan segala fenomena untuk bahan studinya. Dia juga mencoba untuk memahami gejala-gejala itu dan menjelaskan hubungan kausalitas di bawah sorotan sinar sejarah. Kemudian dia mensistematik proses peristiwa-peristiwa dan kaitannya dalam suatu kaidah sosial yang umum.

Ibnu Khaldun adalah penggagas ilmu peradaban atau filsafat sosial, pokok bahasannya ialah kesejahteraan masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial. Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban adalah ilmu baru, luar biasa, dan banyak faedahnya. Ilmu baru ini, yang diciptakan oleh Ibnu Khaldun memiliki arti yang besar. Menurutnya ilmu ini adalah kaidah-kaidah untuk memisahkan yang benar dari yang salah dalam penyajian fakta, menunjukkan yang mungkin dan yang mustahil.

Ibnu Khaldun membagi topik ke dalam 6 pasal besar yaitu:

  1. Tentang masyarakat manusia setara keseluruhan dan jenis-jenisnya dalam perimbangannya dengan bumi; “ilmu sosiologi umum”.
  2. Tentang masyarakat pengembara dengan menyebut kabilah-kabilah dan etnis yang biadab; “sosiologi pedesaan”.
  3. Tentang negara, khilafah, dan pergantian sultan-sultan; “sosiologi politik”.
  4. Tentang masyarakat menetap, negeri-negeri, dan kota; “sosiologi kota”.
  5. Tentang pertukangan, kehidupan, penghasilan, dan aspek-aspeknya; “sosiologi industri”.
  6. Tentang ilmu pengetahuan, cara memperolehnya dan mengajarkannya; “sosiologi pendidikan”.[13]

Ibnu Khaldun juga merupakan orang yang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat manusia dari satu sisi dan sebab-sebab yang berkaitan pada sisi yang lain. Dia mengetahui dengan baik masalah-masalah penelitian dan laporan-laporan penelitian. Laporan penelitian menurut Ibnu Khaldun hendaklah diperkuat oleh dalil-dalil yang meyakinkan. Dia telah mengkaji perilaku manusia dan pengaruh iklim dan berbagai aspek pencarian nafkah beserta penjelasan pengaruhnya pada konstitusi tubuh manusia dan intelektual manusia dan masyarakat.

Dalam kajian pendekatan sosiologi studi Islam, banyak para penulis, baik penulis dari barat maupun penulis muslim yang telah menghasilkan karya tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam memahami agama. Di antaranya adalah Clifford Geertz dalam bukunya; The Religion of Java, tulisannya ini sangat memberikan kontribusi yang luar biasa meskipun banyak kritikan yang dilontarkan kepadanya. Namun dari segi metodologi banyak manfaatnya yang bisa diambil dalam karyanya ini. Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam pojok dan celah kehidupan Jawa. Masih banyak lagi karya Geertz yang lain seperti Religion as a Cultural System dalam Anthropological Approaches to the Study of Religion, Tafsir Kebudayaan, After the Fact, Politik Kebudayaan Islam dan lainnya.

Menurut Akbar S. Ahmad tokoh-tokoh sosiologi dalam dunia Islam telah tumbuh dengan pesat jauh sebelum tokoh-tokoh dari barat muncul, seperti seorang tokoh muslim Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi. Menurut sumber-sumber otentik, karya al-Biruni lebih dari 200 buah, namun hanya sekitar 180 saja yang diketahui dan terlacak, beberapa di antara bukunya terbilang sebagai karya monumental. Selain yang telah tersebut di atas, seperti buku al-Atsar al-Baqiyah ‘an al-Qurun al-Khaliyah (peninggalan bangsa-bangsa kuno) yang ditulisnya pada 998 M, ketika dia merantau ke Jurjan, daerah tenggara laut Kaspia. Dalam karyanya tersebut, al-Biruni antara lain mengupas sekitar upacara-upacara ritual, pesta dan festival bangsa-bangsa kuno.[14]

Ali Syari’ati merupakan salah satu tokoh sosiologi yang menyatukan ide dan praktik yang menjelma dalam revolusi Islam Iran. Kekuatan idenya itulah yang menggerakkan pemimpin spiritual Iran, Ali Khomeini memimpin gerakan masa yang melahirkan Republik Islam Iran pada tahun 1979. Sebagai sosiolog yang tertarik pada dialektis antara teori dan praktik, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, dan antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Dua tahun sebelum revolusi Iran, Syari’ati telah menulis beberapa buku, diantaranya: Marxisme and Other Western Fallacies, On the Sociology of Islam, Al-Ummah wa Al-Imamah, Intizar Madab I’tiraz, dan Role of Intellectual in Society. Selanjutnya Ibnu Batutah, adapun karyanya yang berjudul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar (persembahan seorang pengamat tentang kota-kota asing dan perjalanan yang mengagumkan).

Beberapa tokoh-tokoh barat yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu sosiologi di antaranya yaitu: 1) Agust Comte (1798-1857), bapak sosiologi Perancis yang pertama kali memberi nama pada ilmu tersebut yaitu dari kata socius dan logos. Karyanya The Scientific Labors Necessary for The Reorganization of Society (1822), The Positive Philosophy (6 Jilid 1830-1840), dan lainnya. 2) Herbert Spencer (1820-1903), karyanya: The Principles of Sociology yang menguraikan materi sosiologi secara sistematis. 3) Emile Durkheim (1858-1917), karyanya The Social Division of Labor, The Rules of Sociological Method, dan The Elementary Forms of Religious Life. 4) Max Weber (1864-1920), karyanya yaitu: Economic and Society, Collected Essays on Sosiology of Religion, dan lainnya. 5) Charles Horton Cooley (1864- 1929), konseptor mengenai hubungan timbal balik dan hubungan yang tidak terpisahkan antara individu dan masyarakat. Karyanya: Human Ature and Society Order, Social Organization, dan Social Process. 6) Ferdinand Tonnis, karyanya; Sociological Studies and Critism (3 jilid, 1952). 7) Vilfredo Pareto (1848-1923), karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul; The Mind and Society. 8) Thomas F. O’deo, karyanya; The Sociology of Religion. 9) Karl Marx (1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan sosialis internasional.

 5.Signifikasi dan Kontribusi Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologi dalam studi Islam, kegunaannya sebagai metodologi untuk memahami corak dan stratifikasi dalam suatu kelompok masyarakat, yaitu dalam dunia ilmu pengetahuan, makna dari istilah pendekatan sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat atau memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.[15] Metodologi juga bermakna mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk memperlakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan sesuatu permasalahan atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.

Kegunaan yang berkelanjutan ini adalah untuk mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan ke-Islaman yang dimiliki oleh kelompok masyarakat sesuai dengan ajaran agama Islam tanpa menimbulkan gejolak dan tantangan antara sesama kelompok masyarakat. Seterusnya melalui pendekatan sosiologi dalam studi Islam, diharapkan pemeluk agama Islam dapat lebih toleran terhadap berbagai aspek perbedaan budaya lokal dengan ajaran agama Islam itu sendiri.

Masalah sosial sangat penting di dalam Islam. Hal ini menjadi menarik untuk dipelajari dan dipahami.[16] Melalui pendekatan sosiologi sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama Islam dengan berbagai masalah sosial dalam kehidupan kelompok masyarakat, dan dengan itu pula agama Islam terlihat akrab fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan sosial masyarakat.

Dari sisi lain terdapat pula signifikasi sosiologi dalam pendekatan Islam, salah satunya dapat memahami fenomena sosial yang berkenaan dengan ibadah dan muamalat. Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dikarenakan banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong agamawan memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alasan[17] sebagai berikut:

Pertama dalam al-Qur’an atau kitab Hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Sedangkan menurut Ayatullah Khoemeini dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Artinya untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).

Kedua bahwa ditekankannya masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

Ketiga bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat.

Keempat dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya; dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.

Kelima dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah. Demikian sebaliknya sosiologi memiliki kontribusi dalam bidang kemasyarakatan terutama bagi orang yang berbuat amal baik akan mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di tengah-tengah masyarakat, secara langsung hal ini berhubungan dengan sosiologi.

Berdasarkan pemahaman kelima alasan di atas, maka melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu diturunkan.[18]

BAB III

PENUTUP

1.Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan tentang pendekatan sosiologis pada makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Pendekatan sosiologis adalah suatu pandangan atau paradigma yang digunakan untuk menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama, hal ini dikarenakan banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila ditelaah dan dikaji melalui pendekatan ilmu sosiologi.
  2. Agama dan kehidupan sosial memiliki hubungan yang erat, di samping sebagai sebuah keyakinan (belief), agama juga merupakan gejala sosial, artinya agama yang dianut melahirkan perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.
  3. Terdapat 3 macam pendekatan sosiologis dalam pengkajian agama yaitu teori fungsional, konflik, dan interpretatif. Ketiganya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Padateori fungsional dalam pendekatan sosial dimaksudkan fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok itu. 2) Teori konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik akan memungkinkan terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga memungkinkan terjadinya disintegrasi dalam suatu komunitas. 3) Teori interpretatif dimaksudkan bahwa perlu adanya interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari interpretasi itulah memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau suatu bentuk kehidupan sosial.
  4. Dalam kajian pendekatan sosiologi dalam studi Islam, banyak para penulis, baik dari barat maupun muslim yang telah menghasilkan karyanya tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam memahami agama. Menurut Akbar S. Ahmad tokoh-tokoh sosiologi dalam dunia Islam telah tumbuh dengan pesat jauh sebelum tokoh-tokoh dari barat muncul, seperti Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, dan lainnya yang pemikiran dan teori-teori politiknya sangat maju. Dia mampu menembus ke dalam fenomena sosial sebagai filsuf dan ahli ekonomi yang dalam ilmunya. Beberapa tokoh-tokoh yang mempengaruhi perkembangan ilmu sosiologi lainnya di antaranya yaitu Agust Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), Karl Marx (1818-1883), dan lainnya.
  5. Signifikasi pendekatan sosiologis adalah melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan lebih mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an misalnya dijumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu diturunkan.

2.Saran

Sebagai generasi intelektual muda muslim kita hendaknya memiliki sikap yang arif dan bijak dalam beragama. Karena tidak ada kebenaran yang benar-benar mutlak, semua tergantung sudut pandang yang dipakai. Saling menghargai, menghormati, dan memahami merupakan kunci dalam menjalankan hidup keberagamaan.

 

IMG-20161218-WA0005

Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam bersama Bp. Dr. H. Imam Sukardi, M.Ag. – UNU Surakarta

IMG-20161218-WA0008

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mukti Ali. 1970. Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiolog. Yogyakarta: Yayasan Nida.

Abdul Latif. 2009. Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.

Abuddin Nata. 2012. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

  1. M. Sayuthi Ali. 2002. Metodologi Penelitian Agama.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Harun Nasution. 1989. Islam Rasional. Bandung: LSAF.

Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam. Bandung: Mizan.

Jalaluddin Rahmat. 1998. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.

Khoiriyah. 2013. Metodologi Studi Islam. Surakarta: Fataba Press.

  1. Deden Ridwan. 2001. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu.Bandung: Penerbit Nuansa.

Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rak Sarasin.

Peter Connoly (ed.). 2012. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS Group.

Sarlito Wirawan Sarwono. 1999. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi Terapan. Jakarta:  Balai Pustaka.

Soerjono Soekanto. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Syamsuddin Abdullah. 1997. Agama dan Masyarakat. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. 1990. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana.

CATATAN KAKI

[1] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara wacana Yogyakarta, 1990), hal. 92.

[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 21.

[3] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 37.

[4] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: LSAF, 1989), hal. 49.

[5] Peter Connoly (ed,), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS Group, 2012), hal. 283.

[6] H.M.Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.101-102.

[7]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi Terapan, (Jakarta:  Balai Pustaka, 1999), hal. 129.

[8]Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal.39.

[9] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rak Sarasin, 2000), hal. 74-75.

[10] M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian…, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001), hal. 110.

[11] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rak Sarasin, 2000), hal. 119.

[12] A. Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiolog, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), hal. 12.

[13] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 60.

[14] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 69.

[15] M. Deden Ridwan, (ed), Tradisi Baru Penelitian…., (Bandung: Nuansa, 2001), hal. 180.

[16] Khoiriyah, Metodologi Studi Islam, (Surakarta: Fataba Press, 2013), hal. 62.

[17] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 48.

[18] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 41-42.

Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an (Sorotan Pendidikan Akhlak dalam Pendidikan Nasional)

Oleh: Abdul Ghofur

BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Salah satu persoalan bangsa yang krusial dewasa ini adalah persoalan akhlak. Membudayanya KKN baik di kalangan birokrat maupun masyarakat bawah, menjamurnya media pornografi dan pornoaksi, konflik sara yang mengancam disintegrasi bangsa, serta kasus ilegal logging dan pekerjaan ilegal lainnya adalah sekelumit dari persoalan akhlak bangsa yang sedang dihadapi oleh negara yang sudah “merdeka” ini. Banyak kalangan yang menilai bahwa munculnya perilaku tersebut merupakan hasil dari pendidikan masa lalu. Di bidang pendidikan sendiri, tak jarang guru Agamalah yang dikambinghitamkan, sebab materi yang diajarkannya banyak menyangkut tentang akhlak.

Pendidikan memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian setiap manusia. Pendidikan merupakan proses pengembangan potensi peserta didik sehingga menjadi pribadi yang paripurna (insan kamil). Salah satu indikator insan kamil tersebut adalah setiap peserta didik melahirkan akhlakul karimah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa ada tiga lembaga pendidikan yang turut berperan dalam mengembangkan potensi tersebut, yaitu pendidikan formal, informal, dan non formal, masing-masing diwakili oleh sekolah, keluarga, dan lingkungan atau masyarakat. Dengan demikian sekolah sebagai lembaga pendidikan formal turut bertanggungjawab dalam mendidik akhlak setiap peserta didiknya. Itu sebabnya, ketika muncul perilaku negatif (akhlak mazmumah) di tengah-tengah masyarakat, maka salah satu faktor yang disorot adalah bidang pendidikan.

Tetapi tidaklah tepat jika dikatakan bahwa tanggungjawab mendidik akhlak siswa hanyalah tugas guru agama. Meskipun prinsip-prinsip dasar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu akidah (keimanan), syari’ah (ibadah), dan ihsan (akhlak), bukan berarti pendidikan akhlak hanya menjadi tugas guru agama semata, melainkan tugas semua guru serta seluruh eleman bangsa (masyarakat).

Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas secara lebih mendalam mengenai pendidikan akhlak dalam perspektif Al-Qur’an, serta kaitannya dengan pendidikan akhlak dalam pendidikan Nasional. Semoga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif.

2.Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa pengertian pendidikan dan akhlak?
  2. Bagaimana akhlak dalam perspektif Al-Qur’an?
  3. Bagaimana peran pendidikan akhlak sebagai esensi Pendidikan Agama Islam?
  4. Bagaimana posisi Pendidikan Agama Islam dalam pendidikan Nasional?

3.Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

  1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan dan akhlak
  2. Untuk mengetahui akhlak dalam perspektif Al-Qur’an
  3. Untuk mengetahui peran pendidikan akhlak sebagai esensi Pendidikan Agama Islam
  4. Untuk mengetahui posisi Pendidikan Agama Islam dalam pendidikan Nasional

Adapun manfaat penulisan makalah ini agar dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam mengenai pendidikan akhlak dalam perspektif Al-Qur’an, serta kaitannya dengan Pendidikan Agama Islam dalam pendidikan Nasional

BAB II

PEMBAHASAN

1.Pengertian Pendidikan dan Akhlak

Istilah pendidikan berasal dari kata didik. Yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan kepada anak didik. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan kata tarbiyah yang berarti pendidikan.[1]

Pendidikan dalam arti sempit, ialah bimbingan yang diberikan kepada anak didik sampai ia dewasa. Pendidikan dalam arti luas, ialah bimbingan yang diberikan sampai mencapai tujuan hidupnya; bagi pendidikan Islam, sampai terbentuknya kepribadian muslim. Jadi pendidikan Islam, berlangsung sejak anak dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau sampai akhir hidupnya.[2]

Menurut UU Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan adalah suatu proses dan sistem yang bermuara dan berujung pada pencapaian kualitas tertentu yang dianggap dan yang diyakini paling ideal. Pendidikan pada umumnya dan khususnya pendidikan Islam, tujuannya tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer of values).[3] Dalam konteks pendidikan guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar menguasai isi pelajaran hingga mencapai suatu objek yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (afektif), serta keterampilan (aspek psikomotorik) seorang peserta didik.

Berkenaan pengertian akhlak, secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab“akhlaq”, merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq”, yang berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan. Kata “khuluq” mengandung segi-segi kesesuaian dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq” (pencipta), dan “makhluq” (yang diciptakan). Hal ini mengandung makna bahwa rumusan pengertian “akhlaq” timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan Makhluq, dan antara Makhluq yang satu dengan Makhluq yang lain. Di samping itu, sumber akhlak adalah dari khaliq (Allah SWT) dan juga dari Makhluq-Nya (Nabi Muhammad SAW).[4]

Adapun menurut istilah, Ibrahim Anis merumuskan akhlak sebagai keadaan yang tertanam dalam jiwa yang darinya lahir berbagai macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Sementara al-Ghazali merumuskan sebagai hal ihwal yang melekat dalam jiwa, yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Adapun Ibnu Miskawaih mendefinisikannya sebagai keadaan yang tertanam dalam jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan berbagai perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[5]

Dengan demikian, akhlak adalah suatu kondisi, sifat, dan sikap yang tertanam dan melekat dalam jiwa, serta menjadi kepribadian, yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan, dan penelitian.

Dalam Al-Qur’an kata khuluq disebut sebanyak dua kali, yaitu pada surah al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”, dan surah asy-Syu’ara ayat 137, “(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. Istilah akhlak juga mengandung pengertian etika dan moral.[6] Perbedaan akhlak dengan etika dan moral terutama menyangkut sumbernya. Akhlak bersumber dari khaliq (Allah SWT), sunnah Nabi Muhammad SAW, dan ijtihad manusia. Sedangkan etika dan moral hanya bersumber dari manusia. Karena itu penggunaan istilah “etika dan moral” yang mengandung pengertian “akhlak”, perlu ditambah dengan kata “Islam”, yaitu etika Islam atau moral Islam.

2.Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an

Akhlak adalah perbuatan atau sifat yang kebaikan atau keburukannya diketahui akal sehat dan semua manusia, di semua zaman atau tempat, sepakat tentang kebaikan atau keburukannya. Dalam konteks ini maka akhlak dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Akhlak mahmudah, adalah segala tingkah laku yang terpuji, dapat juga disebut dengan akhlaq fadhilah, akhlaq yang utama. Akhlak mahmudah membawa kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Karena setiap akhlak terpuji ini telah ada tuntunan dan ajarannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadits.
  2. Akhlak madzmumah, dalah perangai buruk yang tercermin dari tutur kata tingkah laku dan sikap yang tidak baik. Apabila seseorang melakukannya niscaya akan mendapatkan dosa, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela di hadapan Allah. Akhlak madzmumah muncul dalam tingkah laku kejahatan, kriminal, dan perampasan hak-hak orang lain. Akhlak manusia secara fitrah adalah baik, namun dapat berubah menjadi buruk apabila manusia itu lahir dari keluarga yang tabiatnya kurang baik, lingkungan buruk, pendidikan tidak baik, sehingga menghasilkan akhlak yang buruk. Contohnya riya’/pamer, ujub (mengagumi diri sendiri), takabur (membanggakan diri sendiri), tamak/serakah/rakus, malas, fitnah, bakhil, dan lainnya.

Adapun akhlak yang baik (mahmudah) menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia merupakan buah pohon Islam yang berakarkan aqidah, bercabang dan berdaun syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliah atau hadis Rasulullah SAW. Di antaranya adalah:

عن عبد الله حد ثي أبى سعيد بن منصور قال: حدثنا عبد العزيز بن محمد عن محمد بن عجلا عن القعقاع بن حكم عن أبي صالح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صا.م : انما بعثت لأتمم صالح الاخلاق.(رواه احمد)

Artinya: Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata: menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ijlan dari Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R. Ahmad)

Disebut akhlak Islami (mahmudah), karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran dan Hadis yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam.[7] Berikut ini dikemukakan beberapa contoh nilai-nilai akhlak mahmudah dalam Al-Qur’an, yaitu:

  1. Keadilan, terdapat dalam Al-Quran pada surah Al-A’raf: 89, An-Nahl: 90, An-Nisa: 58 dan 135, Al-Hadid: 25, Al-Maidah: 3 dan 9, At-Taubah: 4 dan 7, Luqman: 13, dan lainnya.

ωs% $oY÷ƒuŽtIøù$# ’n?tã «!$# $¹/ɋx. ÷bÎ) $tRô‰ã㠒Îû Nà6ÏG¯=ÏB y‰÷èt/ øŒÎ) $uZ8¤ftR ª!$# $pk÷]ÏB 4 $tBur ãbqä3tƒ !$uZs9 br& yŠqãè¯R !$pkŽÏù HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# $uZš/u‘ 4 yìřur $uZš/u‘ ¨@ä. >äóÓx« $¸Jù=Ïæ 4 ’n?tã «!$# $uZù=©.uqs? 4 $uZ­/u‘ ôxtFøù$# $uZoY÷t/ tû÷üt/ur $uZÏBöqs% Èd,ysø9$$Î/ |MRr&ur çŽöyz tûüÅsÏG»xÿø9$# ÇÑÒÈ

Artinya: sungguh Kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika Kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan Kami dari padanya. dan tidaklah patut Kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan Kami menghendaki(nya). pengetahuan Tuhan Kami meliputi segala sesuatu. kepada Allah sajalah Kami bertawakkal. Ya Tuhan Kami, berilah keputusan antara Kami dan kaum Kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. (QS. Al-A’raf: 89)

  1. Menghormati kehidupan, terdapat dalam Al-Quran pada surah Al-Baqarah: 255 dan 260, Ali Imran: 156, Al-Mukmin: 65, Al-Maidah: 32, Al-A’raf: 31, dan lainnya.

uqèd Ž†ysø9$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd çnqãã÷Š$$sù tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! šúïÏe$!$# 3 ߉ôJptø:$# ¬! Éb>u‘ tûüÏJn=»yèø9$# ÇÏÎÈ

Artinya: Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. (QS. Al-Mukmin: 65)

  1. Konsisten pada kebenaran dan menjauhi dusta (jujur), terdapat dalam Al-Quran pada surah: Al-Baqarah: 277, Al-Hujarat: 15, Al-Hasyr: 8, Ali Imran: 61, ath-Thuur: 11, dan lainnya.

Ïä!#ts)àÿù=Ï9 tûï̍Éf»ygßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qã_̍÷zé& `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ óOÎgÏ9ºuqøBr&ur tbqäótGö6tƒ WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊ͑ur tbrçŽÝÇZtƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qߙu‘ur 4 šÍ´¯»s9’ré& ãNèd tbqè%ω»¢Á9$# ÇÑÈ

Artinya: (juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hasyr: 8)

  1. Amanah, terdapat dalam Al-Quran pada surah An-Nisa: 58, Al-Ahzab: 72, dan lainnya.

$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# ’n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r’sù br& $pks]ù=ÏJøts† z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ

Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (QS. Al-Ahzab: 72).

  1. Ikhlas, terdapat dalam Al-Quran pada surah Adz-Dzariyat: 56, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 1-6, dan lainnya.

¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tbqããω»sƒä† ©!$# uqèdur öNßgããω»yz #sŒÎ)ur (#þqãB$s% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qãB$s% 4’n<$|¡ä. tbrâä!#tãƒ }¨$¨Z9$# Ÿwur šcrãä.õ‹tƒ ©!$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÊÍËÈ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisa: 42)

  1. Tawadu’, terdapat dalam Al-Quran pada surah Al-Baqarah: 34, Al-A’raf: 12, Shad: 76, Al-Qashas: 78, Al-Alaq: 6, dan lainnya.

øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#r߉àfó™$# tPyŠKy (#ÿr߉yf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4’n1r& uŽy9õ3tFó™$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ

Artinya: dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqarah: 34)

  1. Ta’awwun, terdapat dalam Al-Quran pada surah Al-Maidah: 2, An-Nisa: 114, Al-Hujarat: 9, dan lainnya.[8]

bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r’sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y‰÷nÎ) ’n?tã 3“t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþ’Å”s? #’n<Î) ̍øBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r’sù $yJåks]÷t/ ÉAô‰yèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ

Artinya: dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah, kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)

3.Pendidikan Akhlak sebagai Esensi Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang integral dan berkesinambungan serta mencakup semua aspek kepribadian manusia. Aspek-aspek yang diperhatikan oleh pendidikan Islam adalah: jasad, akal, akidah, emosi, estetika, dan sosial. Karena itu, pendidikan Islam harus diarahkan untuk pengembangan aspek-aspek tersebut kepada hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya serta memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan yang dimaksud tetap bersumber dan bermuara pada Allah.

Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat sekuler, terutama pendidikan Islam tidak hanya didasarkan oleh hasil pemikiran manusia dalam mencapai kemaslahatan umum dan humanism universal namun dasar pokok pemikiran Islam adalah al-Quran dan Hadis. Menurut al-Qabisi, tujuan pendidikan Islam itu adalah upaya menyiapkan peserta didik agar menjadi muslim yang dapat menyesuaikan hidupnya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan tujuan ini diharapkan peserta didik juga mampu memiliki pengetahuan dan mampu mengamalkan ajaran Islam, karena hidup di dunia ini tidak lain adalah jembatan menuju hidup di akhirat.

Pendidikan akhlak merupakan sub/bagian pokok dari materi pendidikan agama, karena sesungguhnya agama adalah akhlak, sehingga kehadiran Nabi Muhammad ke muka bumi pun dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia yang ketika itu sudah mencapai titik nadir. Anak perempuan dibunuh hidup-hidup, fanatisme kesukuan mendarah daging, terhadap kebenaran banyak yang melawan, serta terlalu banyak tindak kemungkaran lain yang mereka lakukan.

Fairuzzabdi berkata, “ketahuilah, agama pada dasarnya adalah akhlak. Barangsiapa memiliki akhlak mulia, kualitas agamanya pun mulia. Agama diletakkan di atas empat landasan akhlak utama, yaitu kesabaran, memelihara diri, keberanian dan keadilan”.[9] Karena agama adalah akhlak, maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa apa yang baik menurut akhlak adalah yang baik pula menurut agama. Karena besar peran pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian anak manusia maka semua filosof muslim sepakat bahwa pendidikan akhlak merupakan jiwa atau esensi pendidikan Islam, karena tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.[10]

Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak tersebut, para pakar pendidikan Islam mengatakan bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran bukanlah sekedar mentransfer berbagai macam ilmu pengetahuan ke dalam otak anak didik terhadap apa-apa yang belum mereka ketahui, akan tetapi lebih dari itu ada tujuan yang lebih utama yaitu mendidik akhlak mereka. Apa yang telah dilakukan Lukman al-Hakim dalam memberikan dasar bagi pendidikan anaknya sangatlah tepat karena hanya keimanan yang benarlah yang akan sanggup membuahkan akhlak karimah di dalam diri seseorang, sehingga anak yang tumbuh di atas pondasi keimanan yang kuat dia akan memiliki kemampuan untuk menerima dan melakukan setiap yang baik menurut kriteria agama.

Di antara tujuan pendidikan akhlak adalah menyampaikan dan mengarahkan kepada peserta didik, mana yang baik dan mana yang buruk, serta apa-apa yang pantas untuk dilakukan dan apa-apa yang seharusnya ditinggalkan dalam kehidupan individu dan masyarakat, sehingga masalah yang pertama kali mendapatkan perhatian para filosof dan ahli hukum adalah membangkitkan umat manusia untuk mengajak kepada akhlak mulia karena pada dasarnya akhlak merupakan pondasi dari setiap bangunan kelompok masyarakat (manusia).

4.Posisi Pendidikan Agama Islam dalam Pendidikan Nasional

Sistem pendidikan nasional sebenarnya tidak menominasi sistem pendidikan Islam Indonesia, dan makna manusia seutuhnya dalam tujuan pendidikan nasional melalui beragam jenis, jenjang, sifat dan bentuk pendidikan/pelatihan sebagai proses kemanusiaan yang bertindak dalam logika berfikir sebagai makhluk yang berakal dan berbudi, juga sebagai proses pemanusiaan yang mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh pemegang mandat ilahiah yang merujuk pada hubungan dengan Tuhannya berikut perilaku yang dikehendaki di dalamnya dan mandat kultural yang mengandung makna sebagai insan berbudaya.

Indonesia, walaupun secara tegas dinyatakan bahwa bukan Negara agama dan bukan pula Negara sekuler, tetapi Negara Pancasila. Menurut Bahtiar Effendi, Negara Pancasila, dapat dikatakan bahwa Indonesia mengambil jalan tengah (middle path) antara Negara agama dan Negara sekuler. Rumusan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas pada Negara Indonesia, bukan Negara sekuler yang memisahkan agama dan Negara, dan bukan Negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila.[11]

Secara filosofis, pandangan hidup bangsa tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka pendidikan Islam Indonesia seharusnya mampu menjadi sub sistem pendidikan nasional. Terlebih sejak dikeluarkannya UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 dan RUU Sindiknas 2003, yang berwawasan masa depan dan diintrodusirkannya kebijakan link and match dalam pendidikan, merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi sistem dan lembaga pendidikan Islam, khususnya bagi sarjana dan cendekiawan muslim untuk merumuskan rancangan sekaligus mempelopori bangunan pendidikan Islam yang berwawasan masa depan, sesuai dengan misi dasar kata Al-Islam, adalah mengislamkan yang berarti menjalankan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan dinamika keislaman.

UU No. 20 Tahun 2003 pada Bab II pasal 3, bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggungjawab”.[12] Posisi Pendidikan Agama Islam dalam UU Sisdiknas 2003 adalah:

  1. Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
  2. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.
  3. Pasal 4 ayat (1), pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.
  4. Pasal 12 ayat (1), setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing dan diajarkan oleh guru/pendidik yang seagama. Tiap sekolah wajib memberikan ruang bagi siswa yang mempunyai agama yang berbeda-beda dan tidak ada perlakuan yang diskriminatif.
  5. Pasal 15, jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
  6. Pasal 17 ayat (2), pendidikan dasar terbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
  7. Pasal 18 ayat (3), pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
  8. Pasal 28 ayat (3), pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Salah satu jenis pendidikan nasional adalah pendidikan agama. Setingkat Taman Kanak-kanak (TK) dinamakan Raudatul Athfal (RA), Sekolah Dasar (SD) dinamakan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dinamakan Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA) dinamakan madrasah aliyah (MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dinamakan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).
  9. Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan; (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Dalam hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik formal (pesantren, madrasah), nonformal (Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), majlis taklim) maupun informal (Madrasah Diniyah).
  10. Pasal 36 ayat (3), kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan pada peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, dan seterusnya.
  11. Pasal 37, (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan seterusnya…, (2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.
  12. Pasal 55 ayat, (1) mengenai Pendidikan Berbasis Masyarakat, masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

Pasal-pasal tersebut merupakan penempatan posisi pendidikan Islam sebagai bagian dalam kerangka sistem pendidikan Nasional, bahwa pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan Nasional. Dalam penjelasan pasal 15 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menyebutkan pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama atau menjadi ahli ilmu agama. UU Sisdiknas 2003 merupakan usaha pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Islam di Indonesia, walaupun ada sebagian pasalnya, pemerintah belum merealisasikan secara konsisten, contohnya Pasal 49 ayat 1 tentang anggaran pendidikan.

Namun secara umum, dapat dilihat bagaimana posisi pendidikan agama dalam UU Sisdiknas 2003. Dari pelbagai pasal menerangkan bahwa pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia, dan kepribadian muslim (khusus agama Islam). Masyarakat boleh mendirikan lembaga pendidikan berbasis masyarakat sesuai dengan kekhasan agama masing-masing, seperti Madrasah Diniyah Muhammadiyah (MDM), Al-Ma’arif, dan lain-lain. Madrasah didirikan atas inisiatif masyarakat Islam bertujuan mendidik peserta didik memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik, maka lahirlah PP No. 28 tahun 1990 pasal 4 ayat 2 tentang SD, SMP yang bercirikan Islam dan dikelola oleh Departemen Agama yang disebut dengan Madrasah. Kurikulum pada setiap jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, wajib hukumnya memuat pendidikan agama (menurut agama yang dianut oleh peserta didik).

Abdur Rahman Assegaf, mengutip pendapat M. Arifin, bahwa pendidikan agama setelah diwajibkan di sekolah-sekolah, meskipun masih perlu disempurnakan terus, menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam perubahan tingkah laku remaja adalah relatif lebih baik dibanding dengan kondisi sebelum pendidikan agama tersebut diwajibkan. Sekurang-kurangnya pengaruh pendidikan agama tersebut secara minimal dapat menanamkan benih keimanan yang dapat menjadi daya preventif terhadap perbuatan negatif remaja atau bahkan mendorong mereka untuk bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya.[13] Kalau dicermati dari tiap Pasal UU Sisdiknas 2003, dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama mempunyai posisi yang sangat penting dalam pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menfokuskan diri dalam membentuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Meskipun pendidikan agama mempunyai peranan penting dalam membentuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berperilaku/akhlak mulia, akan tetapi dalam realitas, lembaga pendidikan agama Islam di Indonesia belum berjalan dengan baik, bahkan, pendidikan agama masih dipandang pendidikan nomor dua oleh sebagian masyarakat, hal ini terlihat masih rendahnya minat masyarakat untuk menyekolahkan putra/putri mereka ke lembaga pendidikan agama, seperti madrasah maupun pesantren.

Lembaga pendidikan agama menjadi prioritas kedua setelah sekolah. Salah satu alasannya adalah kualitas lembaga pendidikan agama lebih rendah di bandingkan sekolah yang sifatnya umum. Maka Lembaga Pendidikan Islam yang memiliki landasan kuat dari agama dan mendapat jaminan dari undang-undang negara harus melakukan perbaikan dan peningkatan standar mutu pendidikan agar dapat menjadi sebuah lembaga layanan publik yang sangat diminati oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

BAB III

PENUTUP

1.Kesimpulan

Dari uraian tentang pendidikan akhlak dalam perspektif Al-Qur’an, serta kaitannya dengan pendidikan akhlak dalam pendidikan Nasional disimpulkan sebagai berikut:

  1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia. Adapun akhlak adalah suatu kondisi, sifat, dan sikap yang tertanam dan melekat dalam jiwa, serta menjadi kepribadian, yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan, dan penelitian.
  2. Akhlak terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah. Adapun akhlak mahmudah dalam Al-Qur’an antara lain keadilan, menghormati kehidupan, konsisten pada kebenaran, amanah, ikhlas, tawadu’, ta’awwun, dan lainnya.
  3. Pendidikan akhlak merupakan esensi dari Pendidikan Agama Islam karena pendidikan akhlak sub/bagian pokok dari materi pendidikan agama, karena sesungguhnya agama adalah akhlak, sehingga kehadiran Nabi Muhammad ke muka bumi pun dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia.
  4. Pendidikan akhlak (PAI) dalam tingkatan nasional tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pada Bab II pasal 3, bahwa pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggungjawab.
IMG-20170122-WA0004

Perkuliahan Studi Al-Qur’an Tarbawi bersama Bp. Dr. H. Aminullah, M.A. – UNU Surakarta

IMG-20170122-WA0000 

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman Assegaf, et. al., 2007. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press.

Ahmad D. Marimba. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif.

Bahtiar Effendi. 2002. Masyarakat, Agama, dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press.

Depag RI. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Depag RI.

Hasan Langgulung. 1989. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

  1. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi. 2005. Sketsa Al-Qur’an; Tempat, Tokoh, Nama, dan Istilah dalam al-Qur’an. Jakarta: Lista Fariska Putra.

Mohammad Daod Ali. 2011. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Muhaimin. 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ramayulis. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Rodiah, dkk. 2010. Studi Qur’an; Metode dan Konsep. Yogyakarta: eLSAQ Press.

Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia.

Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 dan No. 20 tahun 2003 Tentang Guru dan Dosen dan Sistem Pendidikan Nasional.

CATATAN KAKI

[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 1.

[2] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989), hal. 31-32.

[3] Rodiah, dkk, Studi Qur’an; Metode dan Konsep, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hal. 281.

[4] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 306.

[5] M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur’an: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Qur’an, (Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005), hal. 40.

[6] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam …, hal. 307.

[7] Mohammad Daod Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 348-349.

[8] M. Ishom El-saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur’an…, hal. 43-44.

[9] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 11-12.

[10] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), hal. 373.

[11]Bahtiar Effendi, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hal. 19.

[12] Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 dan No. 20 tahun 2003, Tentang Guru dan Dosen dan Sistem Pendidikan Nasional, (WIPRESS, 2006), hal. 58.

[13] Abdur Rahman Assegaf, et. al., Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hal. 146.