Oleh: Abdul Ghofur
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Agama merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, oleh karena itu manusia disebut sebagai homo religious. Agama berhubungan dengan keyakinan, keimanan, dan kepercayaan seorang manusia. Dalam pembahasan ini, agama dipandang dan diteliti tidak secara sepihak atau memandang agamanya lebih baik dan menghina agama lain. Di sini pemahaman agama dipandang secara obyektif, yaitu dengan mengungkapkan beberapa pandangan dari beberapa tokoh dan ilmuwan.
Pada awalnya orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. Kasus seperti ini juga terjadi di Indonesia pada awal tahun 70-an, di mana penelitian agama masih dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang menyatakan bahwa agama sudah begitu mapan tidak perlu diteliti lagi, agama adalah wahyu Allah SWT yang tidak bisa diutak-atik. Namun seiring perkembangan zaman, sebagian besar orang dapat memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Di era modern sekarang ini, penelitian terhadap agama bukan hal yang baru, berbagai ahli dan ilmuwan berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan masing-masing.
Ajaran-ajaran esensial Islam terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits, namun selama ini beberapa kalangan masyarakat Islam masih memandang Islam secara sempit, yakni sebatas pada hal-hal yang bersifat normatif, formalistis, dan simbolis, perlu adanya upaya sadar bagi umat Islam untuk bisa memperbarui cara pandang yang sempit tersebut, sehingga Islam memiliki dimensi kajian dan pengalaman yang lebih luas.
Charles J. Adams dalam kaitannya agar dimensi Islam menjadi lebih luas dan utuh menjelaskan pentingnya tentang apa itu Islam dan agama agar dapat didefinisikan dengan tepat sesuai dengan konteksnya. Kemudian Charles mengutarakan beberapa pendekatan dalam studi Islam di antaranya pendekatan yang dapat ditawarkan yakni pendekatan normatif-keagamaan, pendekatan ilmu-sosial, pendekatan psikologis-antropologis, dan lainnya.
Dalam makalah ini akan dibahas secara lebih detail dan mendalam mengenai salah satu pendekatan dalam pengkajian Islam, yaitu pendekatan sosiologis. Semoga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif mengenai pendekatan sosiologis dalam pengkajian Islam.
2.Rumusan Masalah
- Apa definisi pendekatan sosiologis?
- Bagaimana hubungan agama dengan kehidupan sosial?
- Apa saja macam pendekatan sosiologis?
- Bagaimana peran pendekatan sosiologis dalam tradisi intelektual Islam?
- Apa signifikasi dan kontribusi pendekatan sosiologis?
3.Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari kajian ini antara lain:
- Untuk mengetahui definisi pendekatan sosiologis
- Untuk mengetahui hubungan agama dengan kehidupan sosial
- Untuk mengetahui macam pendekatan sosiologis
- Untuk mengetahui peran pendekatan sosiologis dalam tradisi intelektual Islam
- Untuk mengetahui signifikasi dan kontribusi pendekatan sosiologis
Adapun manfaat penulisan makalah ini agar dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam dan mendetail mengenai pendekatan sosiologis dalam pengkajian Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Definisi Pendekatan Sosiologis
Pendekatan dapat didefinisikan cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu. Dalam konteks ini ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang digunakan dalam memahami agama. Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai realitas kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.[1]
Sedangkan sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu socius yang berarti kawan, teman, sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial yakni mengandung cara-cara bertindak, berfikir, berperasaan yang berada di luar individu. Sosiologi juga diartikan ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk, dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama.
Adapun menurut Soerjono Soekanto, sosiologi diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.[2] Walaupun banyak definisi tentang sosiologi, namun intinya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala sosial, struktur sosial, perubahan sosial, dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Dari uraian di atas dipahami bahwa pendekatan sosiologis adalah suatu pandangan atau paradigma yang digunakan untuk menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut. Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama, hal ini dikarenakan banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila ditelaah dan dikaji melalui pendekatan ini.
2.Hubungan Agama dengan Kehidupan Sosial
Agama sering menjadi bahan perbincangan dan berakhir dengan perbedaan yang meruncing, hanya karena masing-masing memandang agama dari sudut pandang yang berbeda. Satu pihak misalnya memandang bahwa kesadaran agama sedang bangkit, dikarenakan melihat pengunjung masjid yang semakin banyak. Sementara pihak lain menyatakan kemunduran beragama, dikarenakan melihat meningkatnya tindakan kriminal, perilaku anti sosial, dan kemerosotan moral. Kedua pihak tidak akan bertemu, sebelum ditunjukkan kepada mereka bahwa agama yang mereka bicarakan adalah tidak sama. Pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi ritual, yang kedua, dalam dimensi sosial.[3]
Dari sini tampak bahwa dalam membicarakan agama, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari fenomena kehidupan sosial umat yang memeluk agama tertentu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa antara agama dan masyarakat terdapat pengaruh timbal balik dalam artian bahwa agama mempengaruhi hidup kemasyarakatan manusia dalam berbagai bidangnya, demikian pula sebaliknya, bahwa kebanyakan yang berkembang dalam masyarakat mempengaruhi agama pula.[4] Pada intinya dalam agama termuat dua ajaran pokok, yaitu: 1) hal-hal yang mengatur hubungan antara orang yang beragama dengan Tuhannya (hablumminallah), 2) hal yang mengatur hubungan antara sesama hamba (hablumminannas). Poin pertama adalah urusan ritual dan yang kedua urusan sosial.
Dalam ajaran Islam penekanan mengenai urusan sosial lebih besar daripada urusan ritual. Proporsi Al-Quran dan Al-Hadits terhadap urusan muamalah atau sosial lebih besar daripada ibadah atau ritual, oleh Ayatullah Khomeini menyatakan seperti yang dikutip Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah. Dalam kitab-kitab hadis, bab ibadah hanya merupakan bagian kecil dari seluruh hadis. Misalnya dari dua puluh jilid Fath al-Bari, Syarah Shahih Bukhari, hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah, selebihnya membicarakan masalah muamalah (sosial).
Bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan). Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah perseorangan. Bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat-nya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Ganjaran orang yang melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan lebih besar daripada ibadah sunnah.
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa agama dan kehidupan sosial memiliki hubungan yang erat, di samping sebagai sebuah keyakinan (belief), agama juga merupakan gejala sosial, artinya agama yang dianut melahirkan perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.
3.Macam Pendekatan Sosiologis
Sebelum dibahas mengenai macam pendekatan sosiologis, perlu diketahui terlebih dahulu tentang karakterisitik dasar pendekatan sosiologis, yaitu meliputi:[5]
- Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
- Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga masa kanak-kanak, dan usia.
- Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi.
- Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Dari karakteristik di atas, dalam sosiologi terdapat berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dapat dikembangkan untuk memahami berbagai fenomena sosial keagamaan. Di antara pendekatan itu yang sering dipergunakan antara lain:
- Teori Fungsionalisme, teori ini dikembangkan dari teori-teori klasik, seperti Emile Durkheim, Max Weber, Talcott Parson, dan Robert K. Marton. Salah satu pemikiran Durkheim ialah fakta sosial atau realitas sosial akan membentuk perilaku individu. Berbagai struktur masyarakat dipahami sebagai realitas dan fakta sosial, dan hal ini akan membentuk perilaku individu. Sementara itu Max Weber menganalisa bagaimana pengaruh agama terhadap perilaku ekonomi, khususnya dalam mendorong tumbuhnya kapitalisme. Selain itu, ritus keagamaan dipahami sebagai pranata sosial yang dipelihara oleh para pemeluknya dalam sebuah komunitas sosial, logika yang dikembangkannya ialah: sejauh mana nilai-nilai agama sebagai sebuah pranata sosial berpengaruh terhadap perilaku ekonomi.
Sedangkan Talcott Parson merupakan salah seorang tokoh fungsional yang lebih menekankan pada keserasian, keteraturan, dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial. Menurut Parson, terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati bersama menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap anggota komunitas. Sejalan dengan Parson, Robert K. Marton mengembangkan teori fungsionalisme lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa bila masyarakat merasa puas dengan nilai-nilai yang ada, maka masyarakat akan menghargainya. Nilai yang menjadi patokan bersama merupakan faktor yang dapat mendorong integrasi sosial.[6]
Dari teori-teori yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa metode fungsionalisme bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode tersebut berpendirian pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat.
- Teori Konflik
Konflik artinya percekcokan, perselisihan, pertentangan. Dalam hal ini pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok kecil, bahkan antar bangsa dan negara.[7] Dampak konflik pada umumnya negatif. Misalnya, anak yang mempunyai orang tua yang terus menerus bertengkar akan berkurang kepekaan afeksinya, tetapi mudah terpengaruh perilakunya. Konflik antar tim olahraga atau di dalam perusahaan akan mengurangi prestasi kelompok, dan konflik antar bangsa dapat menyebabkan perang yang menimbulkan banyak korban jiwa. Oleh karena itu, orang lebih menyukai kerja sama dan perdamaian daripada konflik.
Teori konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Max, yang melihat pertentangan dan ekploitasi kelas sebagai penggerak utama, Selain Marx dan Hegel tokoh lain dalam pendekatan konflik adalah Lews Coser.[8] Lewis Coser (1956) mengetengahkan peranan konflik sebagai pendorong perubahan sosial. Konflik menurut Coser mempunyai fungsi positif dan fungsi negatif dalam perubahan sosial. Fungsi positif konflik adalah membentuk, mempersatukan, dan memelihara struktur sosial, sedangkan fungsi negatif konflik menimbulkan keraguan dan kebimbangan pada nilai sosial.[9]
Teori-teori konflik dapat digunakan untuk menjelaskan kecenderungan integrasi dan disintegrasi yang dialami sebuah sistem sosial. Teori konflik mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa kelompok yang memiliki kepentingan satu sama lain. Mereka selalu bersaing untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka. Perjuangan untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka seringkali bermuara pada terjadinya konflik antara satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lain.
Ketika terjadi konflik antara satu komunitas dengan komunitas lain, hubungan antara anggota komunitas cenderung integratif, sekalipun sebelumnya terjadi konflik. Kelompok-kelompok beragama yang senantiasa bersaing di Indonesia bersatu menghadapi bahasa komunisme di tahun 1960-an. Partai-partai politik Islam yang sulit bersatu, dalam sidang umum MPR 1999 bersatu membentuk poros tengah untuk menghadapi PDI yang dianggap sebagai saingan bersama. Mereka merasakan adanya musuh bersama yang harus dihadapi, mereka memiliki perasaan senasib sehingga muncul rasa solidaritas antar anggota komunitas. Sebaliknya jika tidak ada konflik antar komunitas, terdapat kecenderungan disintegrasi. Tidak ada rasa senasib, rasa bersama, dan solidaritas antar kelompok. Persaingan antar anggota komunitas mengakibatkan kecenderungan disintegrasi sosial.
Jadi dapat dipahami pendekatan fungsionalisme menekankan pada jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis, sedangkan teori konflik memandang bahwa masyarakat itu terikat kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok atau kelas yang dominan, dengan demikian bidang kajian pendekatan konflik adalah: “Bagaimana kelompok dominan mencapai dan mempertahankan kedudukannya, sebaliknya bagaimana kelompok bawah yang ditekan berjuang melepaskan belenggu yang mengikutinya.[10]
- Interpretatif (interpretif)
Sosiologi interpretatif (interpretif) merupakan salah satu jenis dari sosiologi (termasuk interaksionisme simbolik, fenomenologi sosial, dan pendekatan yang dibangun oleh Weber), dipersatukan oleh sebuah penekanan yang dikemukakan oleh para sosiolog untuk memahami atau menafsirkan makna-makna para pelaku sosial. Dalam argumen ini, untuk melihat segala realitas sosial perlu dilakukan pra-interpretasi (interpretasi awal), di mana bentuk ini hanya menyoroti penyelesaian terhadap kepercayaan-kepercayaan dan penafsiran-penafsiran pelaku sosial (social actor), kemudian disimpulkan bahwa tidak ada kebenaran sosiologi tanpa pemahaman awal terhadap makna-makna dari pelaku sosial.
Geertz, sebagaimana yang dikutip oleh Noeng Muhadjir mengemukakan bahwa interpretif adalah mencari “makna”, bukan mencari hukum, berupaya memahami, bukan mencari teori. Menurutnya interpretif merupakan fenomena hermeneutik yang memerlukan pemaknaan, bukan memerlukan penjelasan kausal. Selanjutnya ia mengatakan bahwa tidak ada social facts yang menunggu observasi kita, yang ada adalah kesiapan peneliti untuk memberi makna atas observasinya. Untuk memberi makna perlu membuat inscripsi, bukan sekedar observasi atau deskripsi. Studi Geertz di Jawa, Bali, dan Maroko mencoba memakai konsep-konsep mereka tentang imajinasinya, makna simbolik kata-katanya, institusinya, perilakunya, dan lain-lain.[11]
Postpositifis interpretif mengimplisitkan nilai di balik data, baik pada tingkat observasi, analisis, maupun kesimpulan. “Makna” pada postpositif rasionalistik diperoleh lewat pemaknaan rasional yang spesifik pada payung teori yang lebih umum. “Makna” pada pospositif interpretif diperoleh lewat pemaknaan esensial fenomenologik pada grass-root. Para interpretifis memaknai realitas sosial sesuai dengan experience-near daripada pemaknaan peneliti sendiri.
Dapat dipahami terdapat 3 jenis dalam pendekatan sosiologis dalam agama, yaitu 1) teori fungsional dalam pendekatan sosial dimaksudkan fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok. Apabila setiap anggota kelompok menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, akan membentuk integrasi kelompok dengan baik. Tapi bila ada anggota kelompok tidak menjalankan fungsinya dengan baik, akan menimbulkan disintegrasi dalam kelompok tersebut. 2) teori konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik akan memungkinkan terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga memungkinkan terjadinya disintegrasi dalam suatu komunitas, tergantung dari sisi mananya konflik itu mau diambil, jika dari sisi positifnya, maka akan membentuk integrasi dan sebaliknya jika dari sisi negatifnya akan membentuk disintegrasi. 3) teori interpretatif dimaksudkan bahwa perlu adanya interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari interpretasi itulah memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau suatu bentuk kehidupan sosial.
4.Pendekatan Sosiologis dalam Tradisi Intelektual Islam
Ibnu Khaldun[12] menghimpun aliran sosiologi dalam karyanya yang monumental Mukaddimah. Cakrawala pemikiran Ibnu Khaldun sangat luas, dia dapat memahami masyarakat dalam segala totalitasnya dan dia menunjukkan segala fenomena untuk bahan studinya. Dia juga mencoba untuk memahami gejala-gejala itu dan menjelaskan hubungan kausalitas di bawah sorotan sinar sejarah. Kemudian dia mensistematik proses peristiwa-peristiwa dan kaitannya dalam suatu kaidah sosial yang umum.
Ibnu Khaldun adalah penggagas ilmu peradaban atau filsafat sosial, pokok bahasannya ialah kesejahteraan masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial. Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban adalah ilmu baru, luar biasa, dan banyak faedahnya. Ilmu baru ini, yang diciptakan oleh Ibnu Khaldun memiliki arti yang besar. Menurutnya ilmu ini adalah kaidah-kaidah untuk memisahkan yang benar dari yang salah dalam penyajian fakta, menunjukkan yang mungkin dan yang mustahil.
Ibnu Khaldun membagi topik ke dalam 6 pasal besar yaitu:
- Tentang masyarakat manusia setara keseluruhan dan jenis-jenisnya dalam perimbangannya dengan bumi; “ilmu sosiologi umum”.
- Tentang masyarakat pengembara dengan menyebut kabilah-kabilah dan etnis yang biadab; “sosiologi pedesaan”.
- Tentang negara, khilafah, dan pergantian sultan-sultan; “sosiologi politik”.
- Tentang masyarakat menetap, negeri-negeri, dan kota; “sosiologi kota”.
- Tentang pertukangan, kehidupan, penghasilan, dan aspek-aspeknya; “sosiologi industri”.
- Tentang ilmu pengetahuan, cara memperolehnya dan mengajarkannya; “sosiologi pendidikan”.[13]
Ibnu Khaldun juga merupakan orang yang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat manusia dari satu sisi dan sebab-sebab yang berkaitan pada sisi yang lain. Dia mengetahui dengan baik masalah-masalah penelitian dan laporan-laporan penelitian. Laporan penelitian menurut Ibnu Khaldun hendaklah diperkuat oleh dalil-dalil yang meyakinkan. Dia telah mengkaji perilaku manusia dan pengaruh iklim dan berbagai aspek pencarian nafkah beserta penjelasan pengaruhnya pada konstitusi tubuh manusia dan intelektual manusia dan masyarakat.
Dalam kajian pendekatan sosiologi studi Islam, banyak para penulis, baik penulis dari barat maupun penulis muslim yang telah menghasilkan karya tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam memahami agama. Di antaranya adalah Clifford Geertz dalam bukunya; The Religion of Java, tulisannya ini sangat memberikan kontribusi yang luar biasa meskipun banyak kritikan yang dilontarkan kepadanya. Namun dari segi metodologi banyak manfaatnya yang bisa diambil dalam karyanya ini. Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam pojok dan celah kehidupan Jawa. Masih banyak lagi karya Geertz yang lain seperti Religion as a Cultural System dalam Anthropological Approaches to the Study of Religion, Tafsir Kebudayaan, After the Fact, Politik Kebudayaan Islam dan lainnya.
Menurut Akbar S. Ahmad tokoh-tokoh sosiologi dalam dunia Islam telah tumbuh dengan pesat jauh sebelum tokoh-tokoh dari barat muncul, seperti seorang tokoh muslim Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi. Menurut sumber-sumber otentik, karya al-Biruni lebih dari 200 buah, namun hanya sekitar 180 saja yang diketahui dan terlacak, beberapa di antara bukunya terbilang sebagai karya monumental. Selain yang telah tersebut di atas, seperti buku al-Atsar al-Baqiyah ‘an al-Qurun al-Khaliyah (peninggalan bangsa-bangsa kuno) yang ditulisnya pada 998 M, ketika dia merantau ke Jurjan, daerah tenggara laut Kaspia. Dalam karyanya tersebut, al-Biruni antara lain mengupas sekitar upacara-upacara ritual, pesta dan festival bangsa-bangsa kuno.[14]
Ali Syari’ati merupakan salah satu tokoh sosiologi yang menyatukan ide dan praktik yang menjelma dalam revolusi Islam Iran. Kekuatan idenya itulah yang menggerakkan pemimpin spiritual Iran, Ali Khomeini memimpin gerakan masa yang melahirkan Republik Islam Iran pada tahun 1979. Sebagai sosiolog yang tertarik pada dialektis antara teori dan praktik, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, dan antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Dua tahun sebelum revolusi Iran, Syari’ati telah menulis beberapa buku, diantaranya: Marxisme and Other Western Fallacies, On the Sociology of Islam, Al-Ummah wa Al-Imamah, Intizar Madab I’tiraz, dan Role of Intellectual in Society. Selanjutnya Ibnu Batutah, adapun karyanya yang berjudul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar (persembahan seorang pengamat tentang kota-kota asing dan perjalanan yang mengagumkan).
Beberapa tokoh-tokoh barat yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu sosiologi di antaranya yaitu: 1) Agust Comte (1798-1857), bapak sosiologi Perancis yang pertama kali memberi nama pada ilmu tersebut yaitu dari kata socius dan logos. Karyanya The Scientific Labors Necessary for The Reorganization of Society (1822), The Positive Philosophy (6 Jilid 1830-1840), dan lainnya. 2) Herbert Spencer (1820-1903), karyanya: The Principles of Sociology yang menguraikan materi sosiologi secara sistematis. 3) Emile Durkheim (1858-1917), karyanya The Social Division of Labor, The Rules of Sociological Method, dan The Elementary Forms of Religious Life. 4) Max Weber (1864-1920), karyanya yaitu: Economic and Society, Collected Essays on Sosiology of Religion, dan lainnya. 5) Charles Horton Cooley (1864- 1929), konseptor mengenai hubungan timbal balik dan hubungan yang tidak terpisahkan antara individu dan masyarakat. Karyanya: Human Ature and Society Order, Social Organization, dan Social Process. 6) Ferdinand Tonnis, karyanya; Sociological Studies and Critism (3 jilid, 1952). 7) Vilfredo Pareto (1848-1923), karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul; The Mind and Society. 8) Thomas F. O’deo, karyanya; The Sociology of Religion. 9) Karl Marx (1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan sosialis internasional.
5.Signifikasi dan Kontribusi Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologi dalam studi Islam, kegunaannya sebagai metodologi untuk memahami corak dan stratifikasi dalam suatu kelompok masyarakat, yaitu dalam dunia ilmu pengetahuan, makna dari istilah pendekatan sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat atau memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.[15] Metodologi juga bermakna mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk memperlakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan sesuatu permasalahan atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.
Kegunaan yang berkelanjutan ini adalah untuk mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan ke-Islaman yang dimiliki oleh kelompok masyarakat sesuai dengan ajaran agama Islam tanpa menimbulkan gejolak dan tantangan antara sesama kelompok masyarakat. Seterusnya melalui pendekatan sosiologi dalam studi Islam, diharapkan pemeluk agama Islam dapat lebih toleran terhadap berbagai aspek perbedaan budaya lokal dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Masalah sosial sangat penting di dalam Islam. Hal ini menjadi menarik untuk dipelajari dan dipahami.[16] Melalui pendekatan sosiologi sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama Islam dengan berbagai masalah sosial dalam kehidupan kelompok masyarakat, dan dengan itu pula agama Islam terlihat akrab fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan sosial masyarakat.
Dari sisi lain terdapat pula signifikasi sosiologi dalam pendekatan Islam, salah satunya dapat memahami fenomena sosial yang berkenaan dengan ibadah dan muamalat. Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dikarenakan banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong agamawan memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alasan[17] sebagai berikut:
Pertama dalam al-Qur’an atau kitab Hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Sedangkan menurut Ayatullah Khoemeini dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Artinya untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
Kedua bahwa ditekankannya masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat.
Keempat dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya; dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
Kelima dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah. Demikian sebaliknya sosiologi memiliki kontribusi dalam bidang kemasyarakatan terutama bagi orang yang berbuat amal baik akan mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di tengah-tengah masyarakat, secara langsung hal ini berhubungan dengan sosiologi.
Berdasarkan pemahaman kelima alasan di atas, maka melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu diturunkan.[18]
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan tentang pendekatan sosiologis pada makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Pendekatan sosiologis adalah suatu pandangan atau paradigma yang digunakan untuk menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama, hal ini dikarenakan banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila ditelaah dan dikaji melalui pendekatan ilmu sosiologi.
- Agama dan kehidupan sosial memiliki hubungan yang erat, di samping sebagai sebuah keyakinan (belief), agama juga merupakan gejala sosial, artinya agama yang dianut melahirkan perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.
- Terdapat 3 macam pendekatan sosiologis dalam pengkajian agama yaitu teori fungsional, konflik, dan interpretatif. Ketiganya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Padateori fungsional dalam pendekatan sosial dimaksudkan fungsi masing-masing anggota suatu kelompok memberikan pengaruh dalam membentuk integrasi atau disintegrasi kelompok itu. 2) Teori konflik dimaksudkan bahwa dengan adanya konflik akan memungkinkan terjadinya integrasi suatu komunitas kelompok, dan juga memungkinkan terjadinya disintegrasi dalam suatu komunitas. 3) Teori interpretatif dimaksudkan bahwa perlu adanya interpretasi dalam setiap melihat fakta-fakta sosial, dari interpretasi itulah memungkinkan adanya pemahaman terhadap suatu komunitas atau suatu bentuk kehidupan sosial.
- Dalam kajian pendekatan sosiologi dalam studi Islam, banyak para penulis, baik dari barat maupun muslim yang telah menghasilkan karyanya tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam memahami agama. Menurut Akbar S. Ahmad tokoh-tokoh sosiologi dalam dunia Islam telah tumbuh dengan pesat jauh sebelum tokoh-tokoh dari barat muncul, seperti Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, dan lainnya yang pemikiran dan teori-teori politiknya sangat maju. Dia mampu menembus ke dalam fenomena sosial sebagai filsuf dan ahli ekonomi yang dalam ilmunya. Beberapa tokoh-tokoh yang mempengaruhi perkembangan ilmu sosiologi lainnya di antaranya yaitu Agust Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), Karl Marx (1818-1883), dan lainnya.
- Signifikasi pendekatan sosiologis adalah melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan lebih mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an misalnya dijumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu diturunkan.
2.Saran
Sebagai generasi intelektual muda muslim kita hendaknya memiliki sikap yang arif dan bijak dalam beragama. Karena tidak ada kebenaran yang benar-benar mutlak, semua tergantung sudut pandang yang dipakai. Saling menghargai, menghormati, dan memahami merupakan kunci dalam menjalankan hidup keberagamaan.
Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam bersama Bp. Dr. H. Imam Sukardi, M.Ag. – UNU Surakarta
DAFTAR PUSTAKA
- Mukti Ali. 1970. Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiolog. Yogyakarta: Yayasan Nida.
Abdul Latif. 2009. Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.
Abuddin Nata. 2012. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- M. Sayuthi Ali. 2002. Metodologi Penelitian Agama.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun Nasution. 1989. Islam Rasional. Bandung: LSAF.
Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam. Bandung: Mizan.
Jalaluddin Rahmat. 1998. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Khoiriyah. 2013. Metodologi Studi Islam. Surakarta: Fataba Press.
- Deden Ridwan. 2001. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu.Bandung: Penerbit Nuansa.
Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rak Sarasin.
Peter Connoly (ed.). 2012. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS Group.
Sarlito Wirawan Sarwono. 1999. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Soerjono Soekanto. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Syamsuddin Abdullah. 1997. Agama dan Masyarakat. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. 1990. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana.
CATATAN KAKI
[1] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara wacana Yogyakarta, 1990), hal. 92.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 21.
[3] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 37.
[4] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: LSAF, 1989), hal. 49.
[5] Peter Connoly (ed,), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS Group, 2012), hal. 283.
[6] H.M.Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.101-102.
[7]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi Terapan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 129.
[8]Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal.39.
[9] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rak Sarasin, 2000), hal. 74-75.
[10] M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian…, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001), hal. 110.
[11] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rak Sarasin, 2000), hal. 119.
[12] A. Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiolog, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), hal. 12.
[13] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 60.
[14] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 69.
[15] M. Deden Ridwan, (ed), Tradisi Baru Penelitian…., (Bandung: Nuansa, 2001), hal. 180.
[16] Khoiriyah, Metodologi Studi Islam, (Surakarta: Fataba Press, 2013), hal. 62.
[17] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 48.
[18] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 41-42.